Oleh : Annisa Dewanti Putri
Pagi itu ia berangkat ke tanah suci. Sebuah kota impianya
yang tidak sebanding dengan kota-kota megapolitan di belahan dunia. Kota yang
membuatnya begitu bahagia ketika mendapatkan tugas kesana. Ia adalah papa.
Seperti yang dikutip dari buku Andrea Hirata dari trilogy Laskar Pelangi, “Itulah ayahku, ayah nomor satu di dunia,”
kata Andrea. Begitupula denganku, memiliki ayah nomor satu di bumi bahkan di
dunia yang kusebut dengan PAPA.
Tak ternilai begitu besar kasih sayangnya dibalik sifatnya
yang sedikit tempramental. Teringat dari saat aku kecil. Aku dan adikku (baca :
Akbar) digendongnya di bandara setiap kami pulang ke Jakarta. Saat itu jadwal di
bandara Igusti Ngurahrai
,
penerbangan memang terbilang malam. Anak-anak seusia kami layaknya sudah tertidur
lelap. Aku tertidur di kasur ternyaman yaitu di pundak. Itulah yang terjadi,
kami tidur di pundak Papa dan Mama.
Suatu hari saat kakiku menginjak kelas satu Sekolah Dasar,
guruku memberikan tugas yang menurutku sangat sulit membuatnya. Tugasnya yaitu
membuat sebuah
Prototype perahu
layar. Begitu aneh setelah kupikir pikir, seorang anak bagaikan seorang
insyinyur kelas atas yang disuruh membuat model terkait naval arsitektur
seperti itu. Ya memang tujuanya untuk meningkatkan kreativitas. Namun dibalik
ekspresi innocent yang tertera di wajahku, Papa muncul membawa perkakas dan
sebotol susu bekas dengan beberapa orang-orangan Lego
.
Dia membuatkan sebuah perahu botol susu yang setelah sekarang aku ingat itu
desain yang begitu keren dengan dihiasi mainan karakter Lego tersebut. Menyesal
perahu itu tak disimpan. Tak kusangka, saat itu
aku hanya begitu senang layaknya anak kecil yang diberi mainan.
Sampai kapanpun memori soal wujud perahu mini
buatan ayah akan selalu teringat di otakku.
|
Penulis, Mama, Papa. Sumber : Penulis 2012 |
Papa selalu bersedia menemani kami di setiap
jenjang pendidikan anak-anaknya. Setiap aku,
adik-adiku ikut serta dalam lomba, ia selalu ada disana, diluar sambil berdiri
menunggu dengan doanya. Jika hasilnya menang atau lolos ia berkata, “Anak papa
hebat,” atau “Itu baru anak Papa,” . Juga, meski kami kalah atau mungkin
mengecewakanya ia berkata, “ga apa-apa,” sambil mengusap kepala ini yang
mungkin sudah penat namun karena usapanya terasa sejuk kembali.
Diatas hanya beberapa kisah luar biasa yang mewakili kisah
sayang Ayah nomor satuku itu. Masih banyak kisah yang terlalu panjang diluapkan
dengan kata-kata. Kisah yang membuatku selalu berkata dalam hati kecil ini, “Papa,
ayah nomor satu,” Papa yang begitu aku sayangi.
Memarahiku disaat aku salah jalan.
Mengajarkanku cara
bersepeda dan berkendara.
Memikirkanku disaat aku ada masalah.
Membuatkanku sebuah mainan.
Menyalakan kaset surat Al-Quran.
Membawakanku makanan kesukaan.
Mengantarku disaat aku butuh tumpanganya.
Menggendongku disaat aku tak bisa berjalan.
Dan mendoakanku setiap saat.
Pesan : Sayangilah selalu orang tua meski begitu sering
memarahi kita. Mereka adalah kunci kita berada di dunia. Bagaimanapun sikap
itu, selalu selipkan mereka dalam doa kita.
Jakarta, 20 Januari
2013
Ditulis untuk persembahan
hadiah Ulang Tahun Papa ke-53