Saturday, September 27, 2014

Cahaya diantara Harapan dan Hasrat

Oleh: Annisa Dewanti Putri

Tiga tahun sudah tubuh ini menjadi pengelana dalam ruang G305 (Lembaga Kajian Mahasiswa, Universitas Negeri Jakarta). Di tahun pertama aku mendapatkan pelangi pertamaku bersama Eros. Ialah sebuah nama angkatan 2011 yang berarti hasrat. Mungkin, sebagian dari teman-teman saat ini baru mengetahui makna dari nama itu. Ya, hasrat yang kami yakini akan terus ada dalam pembelajaran, hasrat untuk terus berkarya, dan bahkan hasrat untuk terus menjaga persahabatan.

Aku tak akan banyak membahas mengenai Eros dalam tulisan ini, karena dari seluruh tulisan yang ada sebelum-sebelumnya, Eros selalu ada sebagai tokoh utama dalam tulisanku. Eros telah menghiasi berbagai tulisanku hingga memberikan warna disetiap perjalanan di markas kecil ini. Eros kumaknai tak hanya sebagai hasrat, namun juga sebagai Pelangi.

Makna yang berbeda dari nama setiap angkatan teratas dahulu yang sempat mengalami proses bersama kami, merekalah sang kakak baik bernama Dreamworker, Brain, dan Plato. Dan sampai sekarang, meski mereka tak berada pada ruang yang sama dan beberapa telah berkelana menuju ruang lain, makna akan keberadaan mereka tetaplah membekas disini (Sambil menunjuk Hati).

Tepatnya dua tahun lalu, ada satu harapan lahir dari ruang G305. Harapan itu seakan akan memberikan semangat, bahwa mimpi selalu berlaku bagi mereka. Seperti berkata, “Percayalah, harapan itu selalu ada,  Hope, itulah kami,” seru hati kecil angkatan 2012 yang baru lahir itu. Aku selalu percaya dengan mereka, meski terkadang si sisi jahat (baca: Hopeless) menggerogoti jiwa.

Namun, setidaknya mereka tetap memiliki Harapan dalam persahabatan,  dan terasa begitu indah membaca tulisan secercah harapan yang mereka buat. Permainan kata dalam Harapan itu begitu mengalir.

Setidaknya aku telah memaknai harapan sebagai sesuatu yang berbisik “lanjutkanlah, masih ada harapan” meski di samping dunia berkata “tidak bisa.” Hope adalah sebuah Harapan dan kekuatan, setidaknya menurut kata dan ruang mungil G305. Teruntuk Izza, Gustaf, Yanu, Shinta, Hartadi, Bayu, Upil, Yeti, Ester, Heni, dan Terong, Kalian adalah Harapan bagi ruang G305. Tetaplah jaga harapan itu hingga harapan memang tak pernah ada di dunia ini.

Lalumiere. Tepatnya nama sulit ini mucul setahun yang lalu dan membuat lidah orang sedikit terpleset saat harus mengucapkanya. Lebih baik menyingkat dengan menyebutnya Nur atau mungkin Lumer. Namun, Lalumiere tetaplah Lalumiere, cahaya tetaplah cahaya yang menerangi setiap sudut kegelapan dalam muka bumi.

Setidaknya aku selalu memaknai Cahaya sebagai sesuatu yang dasyat dalam ilmu fisika. Ia adalah objek tercepat dengan kecepatan rata-rata 300.000 km/s di udara.  Dan janganlah meremehkan makna dari cahaya sekalipun itu Lalumiere, karena ia adalah penerang di setiap sisi markas kecil G305.

Kepada Lisda, Silvia, Ayu, Hamdan, Qiqi, David, Aflah, Ika, Lala, duo Dina, Fajri Linda, Lina, Afiful, Julia, Aprilia, kalian adalah cahaya dalam ruang G305. Pertanyaannya tinggalah, “Apakah kalian ingin menjadi cahaya yang bersinar, cahaya yang redup, atau cahaya yang mati dalam ruang itu? Semua jawaban ada pada diri kalian, para agen Cahaya.

Eros, Hope, dan Lalumiere, kita berada bersama untuk memberikan Cahaya diantara Harapan dan Hasrat. Begitulah setidaknya ruang G305 memaknai kalian, tak hanya sekedar kata, namun sebagai kalimat yang jika disatukan memberikan makna yang begitu luar biasa.

Jakarta, 18 September 2014
**Tulisan refleksi untuk acara Heart2Heart LKM UNJ 2014/2015, dengan tema “All about LKM” 

Read more…

Saturday, September 13, 2014

Yang tak Pernah Menunggu (Puisi)

sumber: thedatingpapers.com


Aku bukanlah orang yang senang Berpuisi,
namun, saat ini kata-kata seolah ingin keluar layaknya sebuah puisi,
meski ini bukanlah puisi yang seharusnya
Dan perlu diingat, puisi ini tak menggambarkan segala hal yang sedang kupikirkan
ialah hanya sebuah permainan kata
..
Yang Tak Pernah Menunggu

Senja tak pernah menunggu sore,
Begitu juga Bahagia,
ia tak pernah menjadikan sedih menghalanginya,
Malam tak pernah menunggu pagi,
Hingga kekalahan tak pernah menunggu kemenangan.
Begitupula kesalahan, ia tak pernah menunggu kebenaran menyalahinya
Semua hanya paradoks, dimana objek menjadi aneh.

Namun, tak semuanya tak menunggu.
Jawaban selalu menunggu pertanyaan,
Kertas selalu setia  menunggu Pensil,
Menjadi terisi melengkapi yang tak perlu dilengkapi.
 Semua seolah saling menunggu,

Bagaimana dengan huruf, 
apakah huruf selalu menunggunya?
Sempurna selalu mempertanyakan ketidaksempurnaan
Namun, ketidaksempurnaan tak pernah menunggu kesempurnaan.

Tak pernah menunggu, 
Dan  menunggu yang tak pernah.

Jakarta, 13 September 2014



Read more…