Oleh: Annisa Dewanti Putri
sumber gambar: www.racebending.com |
Cloud Atlas, sebuah Film yang diangkat dari Novel
karangan David Mitchell ini patut memberikan gebrakan isu perubahan yang
penting lewat genre Sci-finya.
Film yang berdurasi hampir tiga jam (± 172 menit)
telah banyak berhasil menipu mata penonton. Dengan peran yang berbeda, namun
menggunakan campur tangan aktor yang sama, Produser (Grant Hill dkk) telah
banyak menyulap karakter tersebut menjadi seolah reinkarnasi dari zaman ke
zaman.
Dengan alur cerita campuran, Cloud atlas membawa
penonton menuju periode waktu yang berbeda.
Dimulai dari tahun 1849, berlokasi
di Pacific Island, seorang pengacara
bernama Adam Ewing (Jim Sturgass)
membuahkan sebuah tindakan yang mengarah pada kebebesan budak-budak pada
masa itu. Sampai-sampai Adam Ewing memberikan pengaruh yang cukup besar
terhadap istrinya yang ikut menentang sebuah perbudakan, padahal ayah dari
Istrinya adalah bagian daripada pemerintah yang mendukung perbudakan.
Masuk ke era tahun 1936, tepatnya di Inggris. Disini
bercerita mengenai seorang komposer yang mana judul dari film ini diangkat dari
permainan Pianonya yakni Cloud Atlas
Sextet. Dimana pada akhirnya sang komposer yang penuh dilema mengacungkan
pistol kematian ke kepalanya saat kekasihnya Rufus Sixmith tiba menghampirinya.
Melompat ke Amerika (1973), kisah beralih kepada
seorang wartawan muda yang mengungkap masalah konspirasi dari reaktor nuklir
untuk kepentingan perusahaan minyak. Laporan itu ternyata dipegang oleh Rufus
Sixmith (tokoh sebelumnya) yang sudah penuh dengan keriput. Rupanya semua hal
ini berkaitan, hingga laporan tersebut berakhir diserahkan ke wartawan tersebut
dan kebenaran pun terkuak massa.
Melihat frame pada periode berikutnya, tepatnya
tahun 2012 di London ini mengisahkan tentang seorang penulis dan produser film
bernama Timothy Cavendish yang sudah tua. Semua rangkaian film yang diciptakan
oleh Timothy akan nampak pada frame
di periode berikutnya. Periode ini benar-benar menggambarkan masa abad ini yang
sedang kita jalani.
Masuk ke era masa depan, film ini akan mencuplik
gambaran keadaan Neo Seoul tahun 2144. Korea, inilah keadaan futuristik yang
terbayangkan dengan penuh teknologi tak terkira pada masa depan. Bercerita
mengenai perbudakan versi masa depan yang tidak konvensional namun sangat
diatur dan tidak alami. Semua budak benar-benar terasa dicuci otaknya dan
tubuhnya melalui makanan dan minuman yang harus dikonsumsi setiap budak bangun
dari tidurnya. Inilah bentuk kritik melalui makanan yang mungkin terjadi di
masa depan. Pada akhirnya, seorang wanita budak korea berhasil membebaskan
otaknya dari pemikiran menjadi budak. Bersama dengan seorang aktivis anti
perbudakan, mereka berhasil membuat sebuah revolusi untuk menyuarakan
perbudakan di dunia melalui saluran elektronik. Namun, pada akhirnya meski
suara telah terkuak, mereka semua mati ditembak.
Hawai. 106 tahun setelah Keruntuhan. Kembali ke masa
depan yang terlampau depan. Saat itu setelah Bumi benar-benar jatuh, manusia
mencoba membangun kembali peradabanya. Kembali menjadi primitif, menceritakan
tentang Zachary (Tom Hanks) yang bertemu dengan seorang wanita yang ternyata
berasal dari belahan bumi lain yang masih menyisahkan teknologi dalam perjalananya.
Pada akhirnya mereka menemukan sebuah kuil yang berisi mengenai rekaman pada
masa Neo Seoul, rekaman mengenai perubahan anti perbudakan.
Film Cloud Atlas yang ditayangkan perdana tahun 2012
ini adalah salah satu film yang cukup unik. Setiap tokoh dalam periode berbeda
diperankan oleh orang yang sama jika kita sadari. Perubahan memang nampak pada
fisik dengan namanya yang berbeda pula. Seolah banyak tokoh, namun artis yang
memerankanya intinya adalah artis sebelumnya.
Selain itu, melihat dari setiap latar frame yang berbeda di setiap era zaman
manusia, Cloud atlas mencoba untuk menyiratkan sebuah pesan bahwa satu
perbuatan yang dilakukan seorang manusia sekecil apapun akan berdampak pada
masa periode berikutnya. Kemudian, kehidupan berlangsung secara sirkular
sementara perubahan kerap terjadi. Sebuah perubahan adalah segala hal yang bisa
berdampak selanjutnya, tak perlu takut meski telah gagal melaksanakanya.
Kritik yang bisa disampaikan yaitu pada tahapan
konflik yang terjadi berjalan secara perlahan. Dialog sangat diandalkan dalam
film ini, sehingga jika terlewat beberapa hal akan sulit memahami keterkaitan
antara frame adegan yang satu dengan
yang lainya. Transisi antar zaman juga terlihat begitu cepat sehingga terkadang
bisa membuat samar cerita yang terjadi. Pada intinya film ini cukup epic dalam memainkan alur cerita yang
saling terkait. Bagi yang anti mainstream,
bisa mencoba menikmatinya.