Tuesday, January 20, 2015

Cloud Atlas yang Menjelajah Waktu (Resensi Film)

Oleh: Annisa Dewanti Putri

sumber gambar: www.racebending.com

Cloud Atlas, sebuah Film yang diangkat dari Novel karangan David Mitchell ini patut memberikan gebrakan isu perubahan yang penting lewat genre Sci-finya.

Film yang berdurasi hampir tiga jam (± 172 menit) telah banyak berhasil menipu mata penonton. Dengan peran yang berbeda, namun menggunakan campur tangan aktor yang sama, Produser (Grant Hill dkk) telah banyak menyulap karakter tersebut menjadi seolah reinkarnasi dari zaman ke zaman.
Dengan alur cerita campuran, Cloud atlas membawa penonton menuju periode waktu yang berbeda. 

Dimulai dari tahun 1849, berlokasi di Pacific Island, seorang pengacara bernama Adam Ewing (Jim Sturgass)  membuahkan sebuah tindakan yang mengarah pada kebebesan budak-budak pada masa itu. Sampai-sampai Adam Ewing memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap istrinya yang ikut menentang sebuah perbudakan, padahal ayah dari Istrinya adalah bagian daripada pemerintah yang mendukung perbudakan.

Masuk ke era tahun 1936, tepatnya di Inggris. Disini bercerita mengenai seorang komposer yang mana judul dari film ini diangkat dari permainan Pianonya yakni Cloud Atlas Sextet. Dimana pada akhirnya sang komposer yang penuh dilema mengacungkan pistol kematian ke kepalanya saat kekasihnya Rufus Sixmith tiba menghampirinya.

Melompat ke Amerika (1973), kisah beralih kepada seorang wartawan muda yang mengungkap masalah konspirasi dari reaktor nuklir untuk kepentingan perusahaan minyak. Laporan itu ternyata dipegang oleh Rufus Sixmith (tokoh sebelumnya) yang sudah penuh dengan keriput. Rupanya semua hal ini berkaitan, hingga laporan tersebut berakhir diserahkan ke wartawan tersebut dan kebenaran pun terkuak massa.

Melihat frame pada periode berikutnya, tepatnya tahun 2012 di London ini mengisahkan tentang seorang penulis dan produser film bernama Timothy Cavendish yang sudah tua. Semua rangkaian film yang diciptakan oleh Timothy akan nampak pada frame di periode berikutnya. Periode ini benar-benar menggambarkan masa abad ini yang sedang kita jalani.

Masuk ke era masa depan, film ini akan mencuplik gambaran keadaan Neo Seoul tahun 2144. Korea, inilah keadaan futuristik yang terbayangkan dengan penuh teknologi tak terkira pada masa depan. Bercerita mengenai perbudakan versi masa depan yang tidak konvensional namun sangat diatur dan tidak alami. Semua budak benar-benar terasa dicuci otaknya dan tubuhnya melalui makanan dan minuman yang harus dikonsumsi setiap budak bangun dari tidurnya. Inilah bentuk kritik melalui makanan yang mungkin terjadi di masa depan. Pada akhirnya, seorang wanita budak korea berhasil membebaskan otaknya dari pemikiran menjadi budak. Bersama dengan seorang aktivis anti perbudakan, mereka berhasil membuat sebuah revolusi untuk menyuarakan perbudakan di dunia melalui saluran elektronik. Namun, pada akhirnya meski suara telah terkuak, mereka semua mati ditembak.

Hawai. 106 tahun setelah Keruntuhan. Kembali ke masa depan yang terlampau depan. Saat itu setelah Bumi benar-benar jatuh, manusia mencoba membangun kembali peradabanya. Kembali menjadi primitif, menceritakan tentang Zachary (Tom Hanks) yang bertemu dengan seorang wanita yang ternyata berasal dari belahan bumi lain yang masih menyisahkan teknologi dalam perjalananya. Pada akhirnya mereka menemukan sebuah kuil yang berisi mengenai rekaman pada masa Neo Seoul, rekaman mengenai perubahan anti perbudakan.

Film Cloud Atlas yang ditayangkan perdana tahun 2012 ini adalah salah satu film yang cukup unik. Setiap tokoh dalam periode berbeda diperankan oleh orang yang sama jika kita sadari. Perubahan memang nampak pada fisik dengan namanya yang berbeda pula. Seolah banyak tokoh, namun artis yang memerankanya intinya adalah artis sebelumnya.

Selain itu, melihat dari setiap latar frame yang berbeda di setiap era zaman manusia, Cloud atlas mencoba untuk menyiratkan sebuah pesan bahwa satu perbuatan yang dilakukan seorang manusia sekecil apapun akan berdampak pada masa periode berikutnya. Kemudian, kehidupan berlangsung secara sirkular sementara perubahan kerap terjadi. Sebuah perubahan adalah segala hal yang bisa berdampak selanjutnya, tak perlu takut meski telah gagal melaksanakanya.


Kritik yang bisa disampaikan yaitu pada tahapan konflik yang terjadi berjalan secara perlahan. Dialog sangat diandalkan dalam film ini, sehingga jika terlewat beberapa hal akan sulit memahami keterkaitan antara frame adegan yang satu dengan yang lainya. Transisi antar zaman juga terlihat begitu cepat sehingga terkadang bisa membuat samar cerita yang terjadi. Pada intinya film ini cukup epic dalam memainkan alur cerita yang saling terkait. Bagi yang anti mainstream, bisa mencoba menikmatinya.

Read more…