Oleh:
Annisa Dewanti Putri
A
Blinding, Flash of white light,
Lit
up the sky over Gaza Tonight
...
...
We
will not Go down in the night without a fight
......
We
will not go down in Gaza Tonight
(Sebuah potongan lirik lagu karya Michael Heart)
Lagu itu selalu terlintas di pikiran ini sejak
dahulu aku duduk di bangku kelas X SMA (sekolah Menengah Atas). Aku selalu
mengingat potongan lirik-lirik menyentuh itu saat mendengar berita terkait
pertumpahan darah atau Genosida yang terjadi.
Saat itu perbincangan soal jalur Gaza yang gencar di
serang oleh zionis Israel mulai kukenali. Berawal dari kaset VCD mungil yang di
bawa ayahku dari kantor. VCD itu nampak biasa saja hingga suatu saat aku
penasaran melihat isinya.
Aku mencoba menyaksikanya hingga kaget melihat
berbagai pertumpahan darah yang terjadi tak jauh berbeda dengan film Perang
Amerika berjudul Saving Private Ryan
yang adeganya benar-benar menunjukkan kondisi ketakutan perang yang
sesungguhnya. Hanya saja yang membedakan kaset VCD dengan cover Palestina itu adalah pemeranya yang lebih banyak dihiasi oleh
anak-anak dan aksi yang benar-benar dilakukan secara nyata.
Tak ada aktor dalam film itu, semua yang tertembak
atau terluka benar-benar bersimbah darah sungguhan. Saat itu, pertama kali air
mataku menetes untuk negara lain yang belum terlalu kukenali. Disanalah letak
Masjid dunia kedua setelah Masjidil
Haram. Ialah Masjidil Aqsha yang
mereka coba lindungi.
sumber Gambar: www.globalresearch.ca |
Hanya saja semua ini bukan saja persoalan politik, suku, atau agama.
Dimana letak kemanusiaan saat ini? Darah seakan-akan adalah sirup merah yang
jika tumpah masih bisa dibuat lagi. Darah seakan bukan hal yang mengerikan
lagi. Darah seolah tidak dibuthkan untuk sesama manusia, darah seolah hanya
dibutuhkan untuk penghias pada AK-47 atau Sniper
mereka.
Perlawanan mereka tidak adil. Selalu kubandingkan
secara jauh ketika memainkan Battlefield
atau Conflict Global Storm. Tim Bravo
selalu berhadapan dengan tentara selevel dengan persenjataan yang sama
lengkapnya.Terlihat adil, hanya tinggal strategilah yang menentukan kemenangan.
Di Gaza & Palestina, tak pernah terbayang seorang atau sekelompok tentara
menyerang seorang anak kecil yang hanya bersenjatakan ketapel kayu. Tapi hal
itu terjadi dan selalu menghiasi berbagai gambar yang ada.
Hingga aku teringat kisah percakapan dari VCD tersebut dimana seorang bercerita mengenai
anaknya yang selalu menantang sebuah tank
yang jauh lebih besar dari tubuhnya. Dan saat ini ia telah tiada. Itu baru
sebuah kisah dari beribu kisah serupa yang terjadi disana.
Teruntuk Gaza-Palestina, manusia dengan senjata Ketapel yang
berani menantang sebuah tank.
Tiada kisah terbesar meski mereka jauh lebih
sebentar merasakan kehidupan di dunia, lontaran ketapel mereka jauh lebih
besar dari kisah kita. Namun, jauh lebih besar Doa yang bisa dilantunkan. Doa yang merupakan peluru penolong & tak pernah disangka seranganya.
Duren Sawit, 9 Juli 2014
0 comments:
Post a Comment