Oleh
: Annisa Dewanti Putri
Di
suatu jalan yang mengarah lurus, seorang tukang pos terlihat menuju kota lain
untuk mengantarkan paket kirimanya. Ia tak perlu banyak bertanya pada orang
karena hanya membutuhkan satu hal, yaitu petunjuk jalan yang tersebar di
sepanjang jalan.
Sumber Ilustrasi : Penulis 2013 |
Ia sampai berkat semua rambu-rambu petunjuk
tersebut. Sebelum memasuki kota tersebut, ia disambut oleh Baliho-baliho
raksasa dengan spanduk-spanduk megah seraya menyambut kedatangan seseorang di
kota. Semua hal itu membuat tukang pos bersemangat menuju kota itu. Namun, ia
tak membaca bahwa di bawah ucapan “Selamat Datang di Kota Kesenangan,” terselip
kata “Kota yang membuat anda tidak keluar.”
Cerita tersebut hanya mewakili sebuah kisah
pengalaman dengan tulisan seperti rambu-rambu, simbol, spanduk, billboard, neonbox,
dan lainya. Semua tulisan tersebut yang tertera di jalanan atau tempat umum
selalu menjadi sebuah pengingat tanpa nyawa dalam setiap kegiatan manusia di
suatu tempat. Namun, ada tidaknya nyawa
adalah bergantung setiap manusia yang berinteraksi denganya.
Tulisan yang tertera mewakili semua ocehan
masayarakat yang taat terhadap suatu peraturan tertentu. Tulisan tersebut
bukaan hanya berupa huruf, bisa juga simbol ataupun gambar yang mewakili
tulisan. Pada dasarnya itu adalah objek pengingat yang dibuat bersama demi
menjadikan segala kegiatan lebih teratur. Namun, manusia terkadang mencoba
untuk mengabaikan tulisan yang berbicara tersebut. Mereka sadar bahwa tulisan
tersebut hanya berbicara jika ada yang mengawasinya.
Di jalanan misalnya, ketika sang pengendara melihat
simbol rambu merah dengan tanda minus (-) putih di tengah, tanpa diteriaki
polisi ia sadar bahwa ia tidak akan melewati jalur itu karena rambu sudah
berbicara bahwa jalan itu hanya untuk satu arah baliknya. Itu akan terjadi
disaat rambu tersebut diawasi oleh banyak orang yang kemungkinan situasinya
adalah di siang hari.
Sang pengendara sudah bisa mendengarkan rambu minus
tersebut yang lebih dikenal dengan istilah Verboden.
Verboden pada dasarnya berasal dari
kata belanda yang artinya adalah dilarang masuk. Simbol itu berusaha
mengingatkan seraya berkata untuk tidak boleh melewati jalan tersebut.
Bayangkan jika situasi momen tersebut adalah malam
hari dengan posisi di Jakarta yang mana saat itu tidak terlihat banyak orang di
jalan. Sang pengendara kemungkinan besar akan mengabaikan rambu verboden tersebut dan menerobos jalan
yang seharusnya tak boleh dilewatinya.
Kondisi berikutnya akan berbeda jika kondisi
spasialnya yaitu di Tokyo. Meski malam sekalipun dan tak terlihat
petugas/polisi, manusia disana akan dengan senang hati mendengarkan ocehan sang
rambu verboden tersebut. Semua
tulisan begitu dihargai tanpa harus ada
yang menyuruh untuk menghargainya. Kesadaran manusia yang mengerti bahwa rambu
tersebut sebagai rambu larangan saja atau sebagai objek yang berbicara.
Rasa salut juga turut diberikan kepada kota Jogja.
Kota yang mendapat predikat pertama sebagai Provinsi Beretika dalam Berlalu Lintas
pada September 2013 lalu. Tak heran, banyak pengalaman yang bisa menceritakana
begitu didengarnya tulisan di kota ini. Salah satunya ketika saya diboncengi oleh seorang teman mahasiswa
dari Universitas Gadjah Mada, ia selalu memperhatikan tulisan rambu dan simbol
di jalanan.
Saat itu lampu merah, tidak ada kendaraan lain yang
hendak lewat. Saat itu jiwa ini masih terbayang oleh kenakalan melanggar lampu
merah di Ibukota jadi saya mencoba menghasut dia untuk menyerobot. Namun tetap
ia kukuh untuk mematuhi lampu merah itu meski tak ada kendaraan yang ditunggu
lewat. Jiwa ini menjadi sadar bahwa kebiasaan tidak memperhatikan rambu/tulisan
hendaknya dibuang jauh.
Melompat ke Daerah Administrative khusus Hongkong
dimana jalan yang kecil dengan tempat kecil yang sungguh mendengarkan semua
tulisan dan rambu. Disini, semua tulisan mewakili semua larangan yang bisa
dilontarkan secara lisan. Semua rambu, simbol, tulisan bukan lagi berbicara
mengingatkan sang manusia yang melewatinya, namun juga sudah beralih
mengawasinya.
Kesadaran yang begitu besar hingga tidak perlu
disebar sekelompok petugas kepolisian untuk mengawasi jalanya pembicaraan sang
tulisan dengan manusia. Tulisan disini juga bukan saja hanya mengingatkan namun
bisa menjadi sumber informasi jelas untuk masyarakat disana. Sesuai dengan fungsi
tulisan sebagai media penyalur informasi. Petunjuk jalan menjadi jelas dan
selalu menjawab kebingungan manusia yang terlihat bingung mencari arah. Tak
hanya itu, semua tulisan memberikan semua informasi kegiatan yang membuat
masyarakat disana tidak perlu banyak berbicara dan bertanya karena tipisnya
informasi.
Fenomena seperti ini akan sering ditemukan di negara
maju dengan peraturanya yang sungguh dipatuhi. Tentunya mereduksi komunikasi
secara langsung antar manusia. Karena tulisan, rambu, dan simbol disini sudah
mewakili tanya jawab yang bisa terjadi pada masyarakat sementara/turis dengan
masyarakat setempat di daerah tertentu. Sementara semua rambu ini memang bisa
memacu masyarakat untuk lebih individualis, karena mudahnya mendapatkan
informasi dan larangan tanpa harus komunikasi dengan orang lain. Namun, hal itu
tidak perlu dicemaskan.
Cukup tulisan, rambu dan simbol yang berbicara maka
semua menjadi jelas dan terarah. Tinggal bagaimana manusia memaknai sebuah
rambu, tulisan, dan simbol, apakah sebagai objek mati yang tidak bisa berbuat
apa-apa? Atau sebagai objek yang selalu mengingatkan dan memberikan informasi kepada manusia?
0 comments:
Post a Comment