Friday, November 08, 2013

KETIKA TULISAN, SIMBOL, DAN RAMBU BERBICARA

Oleh : Annisa Dewanti Putri

Di suatu jalan yang mengarah lurus, seorang tukang pos terlihat menuju kota lain untuk mengantarkan paket kirimanya. Ia tak perlu banyak bertanya pada orang karena hanya membutuhkan satu hal, yaitu petunjuk jalan yang tersebar di sepanjang jalan.

Sumber Ilustrasi : Penulis 2013
Ia sampai berkat semua rambu-rambu petunjuk tersebut. Sebelum memasuki kota tersebut, ia disambut oleh Baliho-baliho raksasa dengan spanduk-spanduk megah seraya menyambut kedatangan seseorang di kota. Semua hal itu membuat tukang pos bersemangat menuju kota itu. Namun, ia tak membaca bahwa di bawah ucapan “Selamat Datang di Kota Kesenangan,” terselip kata “Kota yang membuat anda tidak keluar.”

Cerita tersebut hanya mewakili sebuah kisah pengalaman dengan tulisan seperti rambu-rambu, simbol, spanduk, billboard,  neonbox, dan lainya. Semua tulisan tersebut yang tertera di jalanan atau tempat umum selalu menjadi sebuah pengingat tanpa nyawa dalam setiap kegiatan manusia di suatu tempat.  Namun, ada tidaknya nyawa adalah bergantung setiap manusia yang berinteraksi denganya.

Tulisan yang tertera mewakili semua ocehan masayarakat yang taat terhadap suatu peraturan tertentu. Tulisan tersebut bukaan hanya berupa huruf, bisa juga simbol ataupun gambar yang mewakili tulisan. Pada dasarnya itu adalah objek pengingat yang dibuat bersama demi menjadikan segala kegiatan lebih teratur. Namun, manusia terkadang mencoba untuk mengabaikan tulisan yang berbicara tersebut. Mereka sadar bahwa tulisan tersebut hanya berbicara jika ada yang mengawasinya.

Di jalanan misalnya, ketika sang pengendara melihat simbol rambu merah dengan tanda minus (-) putih di tengah, tanpa diteriaki polisi ia sadar bahwa ia tidak akan melewati jalur itu karena rambu sudah berbicara bahwa jalan itu hanya untuk satu arah baliknya. Itu akan terjadi disaat rambu tersebut diawasi oleh banyak orang yang kemungkinan situasinya adalah di siang hari.

Sang pengendara sudah bisa mendengarkan rambu minus tersebut yang lebih dikenal dengan istilah Verboden. Verboden  pada dasarnya berasal dari kata belanda yang artinya adalah dilarang masuk. Simbol itu berusaha mengingatkan seraya berkata untuk tidak boleh melewati jalan tersebut.

Bayangkan jika situasi momen tersebut adalah malam hari dengan posisi di Jakarta yang mana saat itu tidak terlihat banyak orang di jalan. Sang pengendara kemungkinan besar akan mengabaikan rambu verboden tersebut dan menerobos jalan yang seharusnya tak boleh dilewatinya.

Kondisi berikutnya akan berbeda jika kondisi spasialnya yaitu di Tokyo. Meski malam sekalipun dan tak terlihat petugas/polisi, manusia disana akan dengan senang hati mendengarkan ocehan sang rambu verboden tersebut. Semua tulisan  begitu dihargai tanpa harus ada yang menyuruh untuk menghargainya. Kesadaran manusia yang mengerti bahwa rambu tersebut sebagai rambu larangan saja atau sebagai objek yang berbicara.

Rasa salut juga turut diberikan kepada kota Jogja. Kota yang mendapat predikat pertama sebagai Provinsi Beretika dalam Berlalu Lintas pada September 2013 lalu. Tak heran, banyak pengalaman yang bisa menceritakana begitu didengarnya tulisan di kota ini. Salah satunya ketika  saya diboncengi oleh seorang teman mahasiswa dari Universitas Gadjah Mada, ia selalu memperhatikan tulisan rambu dan simbol di jalanan.

Saat itu lampu merah, tidak ada kendaraan lain yang hendak lewat. Saat itu jiwa ini masih terbayang oleh kenakalan melanggar lampu merah di Ibukota jadi saya mencoba menghasut dia untuk menyerobot. Namun tetap ia kukuh untuk mematuhi lampu merah itu meski tak ada kendaraan yang ditunggu lewat. Jiwa ini menjadi sadar bahwa kebiasaan tidak memperhatikan rambu/tulisan hendaknya dibuang jauh.

Melompat ke Daerah Administrative khusus Hongkong dimana jalan yang kecil dengan tempat kecil yang sungguh mendengarkan semua tulisan dan rambu. Disini, semua tulisan mewakili semua larangan yang bisa dilontarkan secara lisan. Semua rambu, simbol, tulisan bukan lagi berbicara mengingatkan sang manusia yang melewatinya, namun juga sudah beralih mengawasinya.

Kesadaran yang begitu besar hingga tidak perlu disebar sekelompok petugas kepolisian untuk mengawasi jalanya pembicaraan sang tulisan dengan manusia. Tulisan disini juga bukan saja hanya mengingatkan namun bisa menjadi sumber informasi jelas untuk masyarakat disana. Sesuai dengan fungsi tulisan sebagai media penyalur informasi. Petunjuk jalan menjadi jelas dan selalu menjawab kebingungan manusia yang terlihat bingung mencari arah. Tak hanya itu, semua tulisan memberikan semua informasi kegiatan yang membuat masyarakat disana tidak perlu banyak berbicara dan bertanya karena tipisnya informasi.

Fenomena seperti ini akan sering ditemukan di negara maju dengan peraturanya yang sungguh dipatuhi. Tentunya mereduksi komunikasi secara langsung antar manusia. Karena tulisan, rambu, dan simbol disini sudah mewakili tanya jawab yang bisa terjadi pada masyarakat sementara/turis dengan masyarakat setempat di daerah tertentu. Sementara semua rambu ini memang bisa memacu masyarakat untuk lebih individualis, karena mudahnya mendapatkan informasi dan larangan tanpa harus komunikasi dengan orang lain. Namun, hal itu tidak perlu dicemaskan.

Cukup tulisan, rambu dan simbol yang berbicara maka semua menjadi jelas dan terarah. Tinggal bagaimana manusia memaknai sebuah rambu, tulisan, dan simbol, apakah sebagai objek mati yang tidak bisa berbuat apa-apa? Atau sebagai objek yang selalu mengingatkan  dan memberikan informasi kepada manusia?

0 comments:

Post a Comment