Saturday, September 26, 2015

EVEREST: Pengorbanan di Kaki dan Puncak Tertinggi

Sumber Gambar: www.Broadsheet.ie

Judul Film: Everest
Produksi: Baltasar Kolmakur (Sutradara), Tim Bevan dan Eric Fellner (Produser), Universal Pictures
Jenis: Petualangan, Thriller, Novel Baseed Story
Durasi: 121 Menit

Bagi traveler dan pendaki, mungkin banyak persepsi berbeda terhadap film bergenre adventure dan thriller ini. Film garapan Baltasar Kormakur ini menguraikan kisah pendakian sekelompok grup pendakian menuju Everest. Everest  menyajikan petualangan lengkap proses pendakian menuju salah satu dari 7 summit (Puncak Bumi). Melalui visi yang berbeda dari setiap pendaki, tekad membawa mereka untuk menuju puncak Gunung Everest bersama dengan Adventure Consultant.

Bagi Doug yang berprofesi sebagai salah seorang tukang pos, mencapai Puncak Everest adalah impian bagi anak-anak asuhnya. Dari sini, inspirasi bisa muncul. Tak jauh dari itu, Yasuko Namba, seorang wanita berumur 47 tahun menginginkan Everest sebagai pelengkap Pendakian nya yang ke-7 dari total 7 Summit. Alasan lain diungkapkan oleh Beck cukup singkat, “Becaues I can.” Baginya alasanya menaklukan Everest adalah karena Ia yakin Bisa.

Persaingan antara Konsultan pendakian disini terjadi, namun karena rintangan cuaca yang begitu berat, maka berujung pada kerja sama yang seharusnya sudah dilakukan sejak awal. 

Jika boleh dibandingkan dengan Film 5 cm yang berlatar di puncak Mahameru, film ini lebih menunjukkan realita dan pengorbanan berat daripada suatu pendakian menuju puncak. Everest tak hanya menunjukkan pengorbanan dan tantangan selama naik sebelum sampai puncak. Bagi mereka, untuk turun membutuhkan pengorbanan yang tak jauh berbeda saat naik.

Disinilah realita lebih banyak dimunculkan tanpa drama kebahagian karena pencapaian di atas puncak. Jika dikisah pendakian lain seolah segala hal berakhir bahagia setelah menyentuh puncak. Di Everest, mimpi mereka dapat menjadi nyata namun pada akhirnya sebagian harus ada yang dikorbankan. Terlebih, terlihat disaat oksigen menipis dan tabung portable menjadi hal yang paling krusial meski dalam perjalanan turun.

Yasuko, Doug, dan Rob lah yang selanjutnya menjadi korban. Tubuh mereka membatu di Everest karena kekurangan oksigen saat badai turun. Tak hanya orang-orang dari Adventure Conslutant, Scott dan Harold yang berusaha menyelamatkan kawanya berujung pada hypothermia berlebih.

Tinggalah perjuangan Beck turun yang sempat diprediksi mati di tengah badai salju. Ia berhasil mencapai Camp akhir meski pada akhirnya sudah tak dapat kembali turun karena luka yang cukup parah. Untungnya, pihak kedutaan Nepal bersedia menerbangkan Helikopter pada ketinggian yang dilarang untuk menyelamatkan Beck turun.

Epilogue ditutup oleh dokumentasi akhir memorial dari tokoh nyata film yang diangkat dari novel nyata berjudul Into Thin Air: A Personal Account of the Mt. Everest Disaster (John Krakauer). Setidaknya, Film yang berdurasi kurang lebih dua jam ini berhasil memberikan efek pendakian nyata di puncak tertinggi bumi. Ialah Everest, tepatnya di perbatasan antara negara Cina dan Nepal, puncak Es tertinggi ini berdiri. Di satu sisi pencapaian dan perjuangan patut diacungi jempol, namun alasan dan pertimbangan resiko dalam melakukan hal serupa ini patut dipikirkan. Karena, setidaknya pengorbanan tak hanya menghiasi sebelum puncak namun juga dirasa setelah menuruninya.

**Review film oleh Annisa Dewanti Putri









Read more…

Saturday, September 19, 2015

Singgah (Puisi)

Singgah dalam senyuman
Secarik kenangan
dimana lampu tak pernah padam
lepas dari kata, tawa dan isak tangisan
Jalan tak selalu indah, jua tak selalu merana

Semisal air bisa ditapaki
tanpa basah bisa dilewati
Mungkin, persinggahan tak akan berarti
Tanpa sesuatu yang ingin dinanti

Di negeri ujung kapal karam menghadang bebatuan
Kapten berteriak meminta pertolongan
datang dengan jangkar tua yang karatan
Menuju persinggahan seolah akan ada keajaiban

"Hai pelaut, dimana geram suaramu"
"Tak ada yang bisa kukatakan"
"Kapalku Singgah dan kini telah ditelan lautan"
Biarlah kisah itu singgah,
kapten kapal kembali berbenah

Singgah, tak pernah terpikir
singgah, tanpa banyak berpikir
Singgah, saat disana bisa melipir
 
 19/09/2015




Read more…

Tuesday, September 15, 2015

Dari Nuklir menjadi New & Clear

“Boom.”. Ledakan itu terjadi pada tanggal 22, 23, dan 24 November 2014. Tapi tunggu dulu, ledakan ini bukanlah ledakan biasa melainkan ledakan kehebohan perbincangan dan diskusi mengenai Teknologi Nuklir. Perbincangan itu diwarnai oleh berbagai mahasiswa dengan latar belakang berbeda dan dari beberapa asal daerah yang berbeda pula.

Tidak hanya itu, beberapa negara sahabat dari benua Asia dan Australia juga ikut mewarnai diskusi itu. Ialah NYS (Nuclear Youth Summit) 2014 yang berusaha menyatukan ide kita terkait nuklir sambil memperluas jaringan pemuda dan ilmuan dari berbagai ruang.

Berkenalan dengan Nuklir

Tepatnya hari itu, Sabtu, 22 November 2014, aku menyegerakan diri berangkat menuju Hotel Royal Kuningan Jakarta bersama kawan kampusku, Abdul Goffar. Niatnya, Desy Rakhmawati juga hendak berangkat bareng, hanya ternyata ia berangkat dari Cileungsi dan ia pun sampai terlebih dahulu.

Masuk ke cerita awal. Saat itu kami sampai dan langsung menemui kelompok masing-masing berdasarkan warna. Aku dapat kelompok cokelat dan sebelum registrasi kami diperekanankan berkumpul bersama dengan LO (Laison Officer) yang saat itu dialah Abdul Rahman dengan Jas elegan hitam yang dikenakannya. Perkenalan pertamaku dengan teman-teman Indonesia lain terjadi di depan pintu itu.

Ialah Nuril, Femi, Imam, Niki, Yaser, Ilham, Kak Nurun, Zanky, Abidin, Lina, Uswa, mbak Diyah, Rifki, Heri, dan Mardi. Merekalah yang akan menghiasi pembicaraan dalam FGD (Focus Group Discussion) kelompok Cokelat pada malam nantinya itu.

Masuk ke sesi pertama, ialah Kuliah Umum yang disampaikan oleh Mr. IreJ Jalal dari  IAEA (International Atomic Energy Association). Sesi ini begitu menarik karena memperkenalkan hal sesungguhnya terkait nuklir. Hal ini memancingku bertanya mengenai  Kondisi Indonesia yang termasuk negara dengan potensi bencana Alam yang begitu besar dan terletak dalam ring of fire. Hal itu terkait tantanganya dalam membangun Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN). Yang saya simpulkan dari jawabanya adalah terkait pemilihan site plan  yang sesuai studi kelayakan, dan dalam hal metode konstruksinya.

Sesi selanjutnya disampaikan oleh Mr. Anhar dari BATAN (Badan Atom dan Tenaga Nasional) yang lebih kepada perkembangan Teknologi Nuklir di Indonesia. Hal ini yang disampaikan tidak melulu soal PLTN (Pembangkit Listrik Tenaga  Nuklir) tapi juga kepada aplikasi teknologi nuklir di bidang Industri.  Menurutku ini sangat menarik, karena banyak produk BATAN hasil dari pengembangan teknologi nuklir menjadi produk berguna. Beberapa produk untuk industri di antaranya  Coloumn Scanning, pipe scanning (Mendeteksi Kebocoran), produk Iradiasi Makanan, Bone Allograf dimana bisa membantu sterilisasi tisu, juga produk kesehatan lainya. Ini yang patut dikembangkan.

Beralih ke sesi ketiga bersama Prof. Terry Mark dari ICTP. Ia berbicara soal Nuclear Human Resource Development. Memang tidak sembarang, beliau mengungkapkan dalam pengembangan PLTN sendiri, Sumber Daya Manusianya  membutuhkan persiapan sekitar sepuluh tahun, dalam hal ini adequate training sangat diperlukan.

Belum lagi perihal teknis, hal ini sangat diperhatikan karena safety factor adalah hal yang utama. Teringat kata Mr. Irej, “Improve safety, improve safety, improve safety.” Karena mulai dari hal ini bisa mengubah pandangan masyarakt mengenai bahaya dalam nuklir itu sendiri yang lebih banyak terlihat.

Masuk ke sesi General Lecture yang terakhir dari Ketua KOMMUN (Koumunitas Muda Nuklir) saudara Sayid Mubarok. Kali ini sesi lebih berjalan santai, perubahan bahasa pun terjadi karena hanya sesi ini yang menggunakan Bahasa Indonesia sebagai pengantarnya. Sesi ini lebih berbicara soal pergerakan pemuda dalam pengembangan Nuklir. Saya pikir KOMMUN sudah memulai hal itu.

Setelah selesai semua rangkaian Kulah umum, maka dilanjutkan dengan sesi berikutnya yaitu FGD. Hal ini sangat menarik karena terjadi berbagai ledakan dari teman-teman dengan latar belakang studi berbeda yang memang mayoritas di bidang sains. Namun, hal itu tak mematahkan semangat salah satu kawanku Yasser dari Universitas Andalas dengan latar belakangnya sebagai seorang mahasiswa Sosiologi.

Pada sesi ini, aku banyak menemukan momen dan peraduan pemikiran yang luar biasa. Berbicara Nuklir yang tak melulu soal Teknis dan mungkin lebih kepada permasalah sosial masyarakat. Sampai seorang teman dari Teknik Lingkungan ITB (Niki) yang jurusan nya memiliki kaitanya di Jurusan ku yaitu Teknik Sipil mengungkapkan pendapatnya dari sudut pandangan Lingkungan dan hal itu telah membuka gerbang solusi melalui pendekatan masyarakat secara langsung melalui empathyc design.

Selanjutnya, semua masukan dan saran ditampung oleh Fasilitator yang selanjutnya akan dimasukan dalam butir-butir petisi untuk dipertimbangkan dan diajukan ke pemerintah berikutnya.

Minggu, Regional Sharing soal Nuklir

Pukul 07.00 WIB kami sudah standby untuk makan pagi. Teringat perbincanganku dengan beberapa mahasiswa Teknik Fisika mengenai Film Interstellar yang belum lama tayang di Bioskop. Satu hal yang kudapat, science fiction tidak bisa disamakan dengan science di kehidupan nyata. Stephen Hawking pun memisahkan hal tersebut.

Setelah makan pagi, dimulailah  acara konferensi pertama di Ballroom,
Setelah sesi tersebut, berikutnya diisi dengan pembahasan dan penandatanganan petisi bersama.
Pada malamnya, sesi Gala Dinner terakhir dinikmati semua delegasi. Selanjutnya setiap kelompok diperkenakan menerbangkan Lampion Kelompok mereka di Area Hotel Pool.

Senin, Pertemuan dengan Reaktor

Tepatnya di Serpong, salah satu reaktor nuklir Batan yang dibangun untuk melaksanakan kegiatan Litbangyasa iptek nuklir. Sebuah area  pengembangan Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Puspiptek) untuk PLTN (Nuklir) di Indonesia dengan luas kawasan mencapai sekitar 25 hektare.

Perjalanan ini mengantarkan kami ke  Pusat Reaktor Serba Guna (PRSG). Fasilitas utama yang terdapat di kawasan ini adalah Reaktor Serba Guna GA. Siwabessy (RSG-GAS). Dengan daya 30 MegaWatt, Fasilitas ini terdiri dariInstalasi Produksi Elemen Bakar Reaktor Riset, Instalasi Radioisotop dan Radiofarmaka, Instalasi Elemen Bakar Eksperimental, Instalasi Pengolahan Limbah Radioaktif, Instalasi Radiometalurgi, Instalasi Keselamatan dan Keteknikan Reaktor, dan lainya.
Memasuki area ini memang sedikit ketat, diperlukan screening dan segala macam APD (Alat Pelindung Diri) yang nantinya terdiri dari jas, sarung tangan, shoes protector, dll.  Tak lain, dalam suatu teknologi reaktor memang dibutuhkan keamanan tingkat tinggi demi mencegah resiko yang ada.

Dalam pengembanganya, saya pikir nuklir dalam hal teknologi rekayasa makanan memang diperlukan dan patut dikembangkan. Hal ini mengingat Indonesia yang merupakan negara agraris dimana rekayasa pertanian dengan memanfaatkan Iradiasi makanan menjadi hal yang menguntungkan. Tak lupa juga untuk bidang Industri, kemudian terlebih di bidang kesehatan juga bisa membuahkan keuntungan, seperti untuk regenarasi kulit dsb. Skala kecil lebih baik dimanfaatkan,

Namun untuk pemanfaatan teknologi nuklir dalam skala besar seperti penerapanya pada reaktor atau yang mengarah pada pembangkit listrik tenaga nuklir memerlukan perhatian dan pertimbangan lebih khusus. Mengingat, sumber energi Indonesia masih banyak yang lebih potensial untuk dimanfaatkan seperti Tenaga air, Geothermal dll. Disamping itu dari segi keselamatan dalam Fasilitas Infrastruktur memerlukan studi lebih lanjut dengan mempertimbangkan negara Indonesia, sebagai negara ditengah Ring of Fire yang penuh resiko bencana.

Pengaman Reaktor Serbaguna Siwabessy

Fasilitas Nuklir, Serpong, Reaktor Siwabessy


Read more…

Sunday, September 06, 2015

Sehari Menggenggam Kyoto

Oleh: Annisa Dewanti Putri

Jumat, 28 Agustus 2015. Hanya ada waktu sehari kami bisa mengunjungi kota yang katanya bagaikan Jogja nya Jepang. Kyoto, kota di pulau Honshu, Jepang. Kota penuh budaya dimana bisa ditemui rumah ala jepang yang sesungguhnya. Kota dimana shrine dan temple bertebaran di setiap sudutnya.

Saat itu kami pergi berlima. Awalnya bertemu di Umeda Station, Osaka. Barulah mengambil kereta menuju Kyoto Station yang memakan waktu sekitar empat puluh menit. Banyak wisata Kyoto yang bisa dinikmati kaum penjelajah ini, namun jika waktu tak megizinkan, biarlah tiga tempat ini menjadi tujuan kita. Tiga tempat menarik ini yang sangat mewakili Kyoto sehari ini.

Atap Emas di Kinkaku-ji Temple

Kinnkaku-Ji.
Refleksinya begitu indah. Atap berlapis emasnya itu dapat nampak di atas danau yang mengelilinginya. Jam buka untuk Kinkaku-Ji adalah pukul 09.00 s/d 17.00 waktu Jepang. Berbeda dengan kuil Ginnkaku-Ji dimana Gin sebagai perak, disini kinkaku-Ji merefleksikan emas. Ini adalah kuil yang semula berfungsi sebagai Villa milik Shogun Ashikaga.

Harga tiket masuk saat itu ialah 400 yen atau sekitar Rp. 42.500 saat itu. Setelah membayar tiket unik bertuliskan kanji dengan stempel  akan diterima pengunjung. Sedikit lurus akan kita temui sebuah panorama hijau, indah layaknya rerimbunan Kasur hijau menghampar.

Saat itu musim panas. Hijaulah yang ditemui. Di musim gugur, mereka mengatakan bahwa merah oranye yang akan menghiasinya. Lain halnya saat musim semi, bunga sakura bertebaran disana. Sementara, saat musim dingin ada kala seharinya kita bisa melihat selimut salju yang menutupi atap kecil kinnkaku-Ji itu.

Kinnka-Ji dan tamanya memang sangat mewakili taman jepang yang terlihat klasik. Taman jepang dikala periode Muromachi. Semacam inilah kompleksitas yang bisa kita saksikan, tak beda jauh dari beberapa taman lain disekitar.

Disini, bisa ditemui toko souvenir khas Kinnka-Ji yang tak bisa ditemui diluar. Berbagai macam alat kerajinan hingga aksesoris bisa didapatkan. Sebagai contoh untuk kisaran harga gantungan kunci disana antara 450 s/d 1.000 yen. Memang cukup mahal, setidaknya kartu pos dengan gambar Kinnkaku-Ji atau gambar khas jepang lainya bisa didapatkan seharga 90 s/d 100 yen (sekitar Rp.12.000,00 saat itu).

Kunjungan kami saat itu berlangsung sekitar satu jam di Kinkaku-Ji. Keluar dari gapura disana, akan nampak semacam bukit dengan lahan kosong berbentuk bintang yang katanya akan menyala dikala festival atau ritual.

Kyoto Imperial Palace

Menapaki gerbang dan hamparan jalan yang begitu luas, kami sebelumnya perlu memasuki bagian kantor informasi terlebih dahulu. Sedikit berbeda, Kyoto Imperial Palace memanjakan pengunjungnya dengan menyediakan pendaftaran berdasarkan rombongan pengunjung. Pihak pengelola selanjutnya memberikan form untuk selanjutnya diisi pengunjung dan dikumpulkan terlebih dahulu.

Saat itu, kami daftar pukul 11.00 dan mendapatkan giliran rombongan kunjungan pukul 14.00. Meski perlu mendaftar terlebih dahulu, sangat diuntungkan karena tiket masuk disini gratis. Jadilah kami menyempatkan berkunjung ke Kyoto Islamic centre  sebelum jadwal tur rombongan di Kyoto Imperial Palace dimulai. Letak Islamic centre juga tak jauh dari lokasi ini, tepatnya berdekatan dengan Kyoto, School of Medicine.

Kembali sebelum pukul 14.00, maka pengunjung diperkenankan menunggu di ruang tunggu gerbang Kyoto Imperial Palace sebelum semua pengunjung terdaftar berkumpul. Tepat jadwal pukul 14.00, tur pun dimulai dengan mengelilingi setiap sudut. Hal yang sering diungkap oleh tour guide bahwa memang sistem kasta pada zaman dahulu sangat terlihat. Nampak pada semacam garis pemisah dalam setiap bagian  rumah di tempat ini.

Sekitar 1 jam tur berbahasa inggris itu pun selesai. Perlu diingat, untuk pengunjung yang membawa barang berlebih, sebenarnya terdapat fasilitas loker di tempat menunggu. Jadi ada baiknya datang lebih awal agar tidak kehabisan loker.

Puncak di Fushimi Inari

Bagi kami, perjalanan disini memang seharusnya dilakukan saat tubuh dalam keadaan bugar. Tak kalah dengan pendakian biasanya ke puncak gunung, Fushimi Inari menawarkan hal tersebut namun dengan gaya pendakian menggunakan tangga. Layaknya sebuah stairventure, kaki kita ditantang untuk terus mendaki sampai pada puncaknya.

Masuk menapaki jalan yang akan disambut oleh sekitar 10.000 Tori Gate. Seolah-olah seperti domino, sepanjang jalan tersusun sampai pada puncaknya. Untuk menambah semangat, satu hal yang perlu dicatat, bahwa masuk ke Fushimi Inari tidak dikenakan harga alias gratis. Namun, tetaplah tantangan menuju atap puncak Fushimi Inari yang ternyata menyediakan trail (sejenis kereta tua) untuk turun setelah pendakian.

Sesungguhnya, waktu yang terbilang sudah mendekati malam dan tubuh yang sudah lelah sebelumnya membuat kami hanya sampai pada stop point. Sudah cukup memuaskan, disini panorama kota Kyoto sudah bisa terlihat jelas. Namun, lebih menyenangkan lagi jika dilakukan di pagi hari secara santai hingga puncak teratas Mount Inari.

Panorama Kyoto
Meski begitu, pendakian mendekat malam juga tak kalah seru, gemerlap lampu seolah menerangi malam sangat indah dilihat dikala itu. Jadi selamat menikmati dan menggenggam Kyoto lebih erat melalui tempat-tempat luar biasa lain yang tak kalah epic.

Tak lupa, sebelumnya penulis ingin mengucapkan terimakasih special untuk kedua Dosen Penulis, Ibu Sittati Musalamah dan Ibu Ririt Aprilin yang selalu membimbing dan tak pernah kehabisan semangat layaknya Kakashi-Sensei yang membimbing Naruto. Juga untuk rekan seperjuangan, Ines Wahyuniati Riza yang selalu berapi-api bagai matahari. Lalu terakhir Kak Syafri Wardi, sang pemandu cerdas yang handal mengatur waktu dan tak pernah lelah layaknya Ultraman. Tanpa kalian, aku hanyalah setitik debu yang tak mengerti apa-apa di Jepang.

Arigato Gozaimasu.

Read more…

Saturday, September 05, 2015

Past, When the Time Flies



The leaves and the sky (by: Author, 2015)

When is the past?
When the time flies


Involution, evolution, revolution
this is when time flies with the past

It is when you remember
Some kind of memories, lost but still there
A wooden swing may hang on the tree
Seems like moving free
It is the past where it meant to be

While the tree grows high
But, the leaves fell and die.
The ocean looks blue as we saw yesterday
And the skies were brighter then last day
It is when you remember that today is already yesterday

It is now Past..
Seconds are now minutes, then Minutes are now hours
Hours are now days, Days are now months
Months are now years, while years are now Decades
And the end,
realities are now memories

When the time flies..
You realize that the water has turned into ice
he realize that the snow has turned into water
She realize that the wood has turned into paper
And I realize that the reality has turned into memory

Annisa Dewanti Putri 9/06/15

Read more…

Friday, September 04, 2015

BERKARYA DALAM ACCMES 2015 (OSAKA, JEPANG)


(Konsep Rumah Urban Dengan Pencahayaan Alami)
 
Oleh: Ines Wahyuniati & Annisa Dewanti Putri

Asian Conference on Civil Materials and Environmental Sciences 2015
Selasa, 25 Agustus 2015. Saat itu cuaca terik melanda Osaka, Jepang. Namun tidak menyurutkan niat dua mahasiswi jurusan Teknik Sipil Universitas Negeri Jakarta untuk mempresentasikan hasil penelitian pada Asian Conference of Civil, Material and Environmental Science (ACCMES). Acara tersebut adalah acara tahunan yang digelar oleh Higher Education Forum dalam upaya meningkatkan diskusi interdisipliner yang meliputi akademisi dan penelitian pada skala internasional.

Pada kesempatan itu, Annisa Dewanti Putri (Teknik Sipil 2011) membawakan karya tulis berjudul “Lighting Energy Efficiency Analysis in Slum Area (Case Study: Kramat Kwitang, Jakarta, Indonesia.” Paper ini berbicara soal seberapa besar penghematan yang diperkirakan antara bangunan rumah eksisting dengan desain barunya. Penelitian tersebut merupakan kelanjutan dari karya yang dibawakan Ines Wahyuniati Riza (Teknik Sipil 2012) berjudul “Upgrading Sunlight Expose for Better Residence in Slum Area: A Case of Kwitang Region, Jakarta, Indonesia”.

Penulis saat Presentasi
Inti daripada kedua karya tulis tersebut adalah penekanan terhadap pembangunan rumah untuk pemukiman kumuh pada wilayah urban. Tentunya konsep tersebut disesuaikan berdasarkan standar luasan tinggal manusia. Beberapa modifikasi dalam modelling telah ditambah guna membuat rumah yang terang dengan cahaya alami yang tetap masuk kedalam rumah. Selanjutnya, pengurangan terhadap pemakaian lampu pada area yang semula tak terkena cahaya dapat diminimalisir. Perhitungan efisiensi tersebut didapatkan dengan meninjau indeks konsumsi energi.

Mt. Fushimi Inari, Kyoto
Setelah penelitian diselesaikan, presentasi perlu dilakukan pada puncak acara ACCMES guna mendapatkan kritik, saran dan masukan dari beberapa ahli yang turut serta. Sebelum bisa sampai pada tahap ini, seleksi abstrak telah dilalui sejak Juni 2015 dibawah bimbingan Ibu Ririt Aprilin M.Sc.Eng dan Ibu Sittati Musalamah M.T, selaku dosen teknik Sipil.

Ikukunitama Shrine, Osaka
Membawa nama Universitas Negeri Jakarta khususnya Indonesia dihadapan para peneliti, ahli dan Professor dari beberapa negara di dunia telah memberikan pengalaman baru bagi dua mahasiswi ini. Ide-ide baru, inovasi, perkembangan ilmu pengetahuan di bidang teknik sipil, material dan lingkungan menjadi wawasan baru setelah mengikuti acara tersebut. Selain Indonesia, negara lain seperti Taiwan, Jepang, China, Malaysia, Turkey, India, Hongkong, Korea, Australia, Singapore, Thailand, dan lainnya turut berpartisipasi dalam memaparkan penelitian terkait. Alih mendapatkan pengalaman baru, pertukaran soal wawasan dan teknologi juga terjadi disini.

Kunjungan ke Osaka University

Setelah melalui rangkaian kegiatan acara ACCMES 2015 di Osaka International House selama tiga hari berturut-turut, tiba saatnya menikmati keindahan negeri sakura. Kunjungan ke Kyoto Imperial Palace, Kinnkakuji Temple, Fushimi Inari, juga landmark lainnya sekitar Osaka dan Kyoto menjadi cerita tersendiri. Tidak hanya itu, kesempatan luar biasa mengunjungi salah satu kampus terbaik di Osaka dirasakan. Osaka University atau lebih familiar disebut sebagai Hendai University oleh masyarakat disana, kampus ini memiliki fasilitas dan lahan yang terbilang besar.

Bracing Untuk Gempa
Selanjutnya, pertemuan dengan Professor Yasushi Sanada dari Division of Global Architecture, Graduated School of Engineering, Osaka University menjadi pengalaman langka berikutnya. Secara garis besar menyoal Divisi arsitektur pada kampus ini dan international coursenya ia terangkan. Disini nyatanya telah dibuka jenjang langsung dari master ke doctoral selama 5 tahun.



Tak hanya itu, Professor Sanada selanjutnya memperkenalkan fasilitas dan bangunan di Divisi Arsitektur disini. Yang menjadikanya unik adalah beberapa inovasi dan metode oleh beberapa Professor disini telah diaplikasikan di beberapa bangunan kampus. Salah satunya seperti retrovit pada gedung barunya guna menahan beban gempa yang terjadi. Sebelumnya menggunakan bracing, namun Karena mengurangi nilai estetika alias menghalangi jendela, maka digunakanlah retrofit. Model dibiarkan sebagian Nampak dari luar bangunan guna tujuan edukasi.

Retrofit pada bangunan baru (S1)
Tak hanya itu, nyatanya Osaka University telah berhasil memberikan kenyamanan tersendiri bagi mahasiswanya dengan menawarkan banyak fasilitas pendukung yang lengkap. Taman lanskap menjadikanya tetap hijau di hamparan area kampus yang terlihat luas.  Setidaknya bagi Jepang, Osaka telah memberikan ceritanya sendiri lewat wawasan dan pengetahuan di kampus ini.

Read more…