Thursday, December 05, 2019

Photo Competition Story: Sketch the Journey


Author Picture: Urban Sketching, by the Author.
That day, after we (Indonesian Students) conducted an event in the Embassy of the Republic of Indonesia and went back at night, the lights in front of the Agriculture Exhibition Centre has attracted us. It was the “Art Beijing 2017.” For sure, this 中国农业展览馆 or the National Agriculture Exhibition Centre always held some particular international event.

But that time it was different. The lights were shinier, more colorful, and the main building becomes more interesting. This hobby of mine sketching the place that I visit and then taking a picture of it for life documentation has urge me to do the same to this moment.

Live sketching for me will be the part of the documentation of life adventure, so beside on taking pictures which exactly will provide with realistic pictures on it, Livesketching will be so valuable for me in creating my own memory to through my imagination and thoughts that are thrown along the lines on the paper.

Live sketching the Agriculture Exhibition Centre from Author (3rd Winner). Source: By Author 2017
 For 15 minutes, I have a chance to do a live sketching as I also wait for my friends to take pictures around this event. Then, after the live sketching, this moment between the sketch and the real place has to be in the same frame. And that finally complete my journey to draw this moment in the night between the art, life, and the capital which I call it as the moment that “Beijing art Never Dies.”

This event and opportunity has given me a chance to give a perspective thoughts of how different kind of people and photographers may take the different angle, space and time through urban studies, especially in Beijing, the capital of China.

Live Sketching Every Journey
On every single journey in a new place, I have a mission to at least make one live sketching through one of the angle of that place. It is a hobby that creates a motivation for me to visit new places. After taking the live sketching, I usually take a picture and a photo of my sketches standing in front of the place.

It usually takes 5 until 15 minutes depending on the details I want to make to the sketches. As it is a bit hard for me when I have to adjust with my friends traveling while I walk and use my time to finish it as I am afraid to also disturb their journey. But thank God, they enjoy it also and let me do it, as I finish it quickly. Without them, my pictures aren’t as colorful as my journey. Friends and travel mates are the best for me.

Besides, in the process of sketching and taking picture, I learn a lot of things form the people around me. Usually they talk with me and I learn many things also from them. For example in such a sunny day, I learn so many about the Walls near Guomao that is used for Archery. The old man sits near to me and told me so many stories. As sometimes some Chinese help me to improve my language while I sketch. It happens fast while I enjoy it always.

Finally, After the live sketching, if there is time, for 5 minutes I will water color the picture using my portable watercolor than take a Photo shoot through it. This happens in the recent years as I
hope it keep going in the future. As from here not only by photography that I take a documentation of my journey but also through sketching.

Until now, I have many pictures with sketches inside of it, and I hope one day it could be a bundle of story from my sketches and Photo shots to complete my article also.

Top 500 Pictures. By: Author 2018
 
*This article was taken from the writing of the author participation for the Beijing Photography Competition 2018 "Depiction of New Beijing"

Read more…

Thursday, October 17, 2019

Ketiadaan yang Mengalahkan Keberadaan

Ketiadaan yang dipertanyakan oleh keberadaan. Ilustrasi: Dewan, 2019

Ada kala keberadaan dibutuhkan, menjadi impian, sementara ketiadaan suatu kali datang dan menjadi idola dibalik keberadaan. Yang aku bicarakan adalah abstrak, namun bisa benar adanya. Sesuatu yang dahulu dianggap, menjadi sebuah keberadaan yang berarti. Namun, ruang dan waktu berkata ketiadaan lebih bermakna sementara keberadaan menjadi tidak berarti.

Eksistensi dihargai, keberadaan seseorang dianggap, saat itu Nampak seolah bahagia menjadi bagian dari celah keberadaan.
Suatu hari, nyatanya keberadaan itu fana. Ketiadaan menjadi lebih dihargai dan disenangi. Ia telah berubah menjadi sesuatu yang lebih baik tak ada. Yang tak ada terlihat baginya lebih bermakna. Entah kenapa, tapi memang aneh adanya.

Pun, batu, pasir, kerikil tak pernah dipermasalahkan keberadaanya. Sementara angina yang tiada menjadi masalah baginya. Kali ini mungkin ketiadaan menjadi jawaban akan keberadaan yang sudah mengganggu.

Ketiadaan kali ini lebih disenangi dibandingkan dengan keberadaan. Begitulah yang Nampak seolah sekarang maya. Mungkin, di kala tertentu, ketiadaan adalah jawaban kenyamanan disamping keberadaan yang meresahkan. Ini hanya terjadi jika nyatanya ketiadaan lebih dihargai disbanding keberadaan. Entahlah.

Apa hal ngawur yang kubicarakan dalam tulisan ini, tidak ada tentunya, ya, karena saat ini ketiadaan lah yang menang melawan keberadaan. Hanyalah perspektif yang barangkali bisa dilihat di lain sisi.

Terimakasih.

Sekian Esai Pendek Ngawur

Read more…

Wednesday, September 25, 2019

Efek Domino? Siapapun punya Pengaruh

Ilustrasti efek domino. Oleh: Dewan, 2019
Tahukah kalian soal domino yang disusun lalu dengan satu sentilan jatuhnya domino, bisa merambat kepada domino lain hingga akhirnya semua deretan dormino itu jatuh semua. Inilah konsep efek domino yang bisa berdampak pada hal lainnya.

Sama seperti kehidupan,  bsgaikan rantai makanan, berpengaruh. Apapun bentuk hilangnya rantai makanan itu. Semut sekalipun, akan merusak kehidupan Manusia sang penguasa. Tak hanya itu, bahkan sang angin punya peran membuat semua ladang jadi hijau untuk makan para sapi disana.
Tak jauh dari itu, sang batu juga telah mempengaruhi cederanya kaki si kambing yang berlari.

Inilah efek domino, sebuah perubahan yang berpengaruh sekecil atau sebesar apapun itu. Bahkan, sekelas hanya mengatai seorang anak kecil dengan sebutan A, bisa jadi akan terkenang dan merubah perilakunya hingga kelak ia besar dan menjadi pemimpin. Pun, kita tak pernah tau, antara ia berpengaruh menjadi Pemimpin Tirani atau dengan royalitas tinggi.

Mengaitkan ini dengan kondisi negeri. Nyatanya apa yang terjadi kita tak bisa salahkan secara langsung. Dampaknya memang tak terasa ketika di posisi nyaman. Namun sadarkah, dalam ketidkanyamanan, akan ada saatnya jiwa memberontak. Terasa memang tidak akan ada pengaruh hanya karena protes kecil-kecilan.

Namun, dari hal kecil, sadarkah nantinya bisa berujung besar. Hal yang terlihat biasa menjadi luar biasa. Yang luar biasa lalu menjadi hal biasa. Inilah efek domino, satu tindakan apapun yang manusia hasilkan bisa berujung pada masalah dirinya sendiri.

Apatis tidaklah salah, bentuk apapun bisa menjadi solusi dan punya pengaruh tersendiri. Hanya, setiap manusia perlu mengingat bahwa efek domino dunia ini berlaku di lingkaran mana saja. Perubahan apapun sekecil dan sebesar apapun. 

Melihat kondisi ini, Film Cloud Atlas sedikit mewakili keadaan pengaruh era satu dengan lainnya. Karena suatu pemeberontakan oleh seorang, nyatanya dapat memberikan kesejahteraan ke era berikutnya tanpa disadari.

Begitupula pada masa ini, menyuarakan aspirasi atau bahkan sekedar membagikan info dan tautan terlihat sederhana. Tapi, kita perlu ingat bahwa jika lebih dari seorang lanjut melakukannya, maka akan bercabang menjadi seisi dunia dan jangan tanyakan lagi pengaruhnya.

Layaknya efek domino yang menjalar, semua bisa merasakannya.




Read more…

Saturday, August 17, 2019

Menjelang Merdeka, Bumi Manusia dalam Layar Kaca

Bumi Manusia. Sumber Gambar: KamalInspirasi.com

Judul Film : Bumi Manusia
Sutradara    : Hanung Bramantyo
Penulis : dari Novel Pramoedya Ananta Toer (Bumi Manusia)
Pemain : Iqbaal Ramadhan, Mawar Eva de Jongh, Sha Ine Febriyanti, Ayu Laksmi, dll.
Genre : Dokumenter
Tanggal Rilis : 15 Agustus 2019
Negara Produksi: Indonesia

Sinopsis
Minke, seorang pribumi Jawa pada masa kompeni dahulu dilahrikan dari salah satu keluarga pati di Surabaya pada masa itu. Minke yang bersekolah di Hoogere Burgerschool (HBS) berkesempatan menjalani kehidupannya layaknya setengah eropa karena  penjajahan masa itu. Suatu ketika, temannya Suhoorf mengajaknya berkunjung ke komplek Wonokromo tempat kawannya Robert Melema dan keluarga tinggal.

Disana, Minke yang memiliki kepribadian ekspatriat nan pribumi memulai konflik batinnya ketika bertemu dengan Annelise, seorang gadis campuran Pribumi dan Belanda. Annelise adalah anak dari Nyai Sunikem yang merupakan jawa asli dan Herman Melema dari Belanda.

Annelise adalah saksi nyata perjuangan Ibunya dalam menjalani kehidupan di keluarganya yang sudah bercampur adu dengan dinamika bersama kompeni belanda. Hingga bagi Annelise, ia ingin menjadi seperti Ibunya yang seorang Pribumi.

Dalam cerita, tapak tilas kehidupan Minke, Annelise, Nyai Sunikem, dan tokoh lainnya dibahas sehingga konflik masa penjajahan dahulu sangat mempengaruhi jalannya cerita dan kepribadian para tokoh untuk bersuara soal ketidakadilan ini.

Ketidakadilan dalam ranah hukum, perlakuan, pengkastaan hingga kepemilikan menjadi konflik dalam setiap adegan dalam cerita, utamanya pada masa kompeni dahulu dimana ras, strata, status, dan sosial budaya menjadi yang sangat diperhatikan. Hingga suatu saat, klimaks ditunjukkan melalui Annelise yang diambil hak asuhnya oleh Walinya di Belanda, sementara Minke dan Ibunya Annelis mencoba bersuara melawan melalui media dan pengadilan. Namun, pada akhirnya tetap tak terkalahkan.

Pada akhirnya, Annelise tidak bisa memilih menjadi Pribumi seperti Ibunya, karena faktor sistem hukum kompeni yang saat itu sangat menekan pribumi. Namun, setidaknya Nyai dan Minke telah melawan dan tidak sepenuhnya kalah karena telah berusaha bersuara kepada penjajah pada masa itu.

Review
Film Bumi Manusia yang notabennya diangkat dari novel seperti kebanyakan beberapa film di Indonesia, menuai beberapa sisi baik maupun kelemahannya dibandingkan dengan novel yang digarap oleh Pramoedya Ananta Toer. Sungguh bisa dimengerti bahwa dalam film hanya diangkat bagian utama dalam apa yang ada di novel dengan mewakili unsur deskriptif secara menyeluruh. Pengemasan ini bahkan tetap berujung pada durasi yang sekiranya tiga jam.

Dalam film Bumi Manusia, mosi, grafis, dan audio cukup mendukung suasana penjajahan dahulu, hingga pengemasan terhadap tokoh dan figure yang dikombinasikan dengan aktor barat atau dari eropa. Tak lupa secara grafis memang benar mengangkat plot pedesaan dan kota pada masanya yang sudah dipengaruhi Colonial-imperial style di kalanya.

Film ini cukup menarik karena memadukan Bahasa dan budaya pada situasi dan kondisi pada masanya. Hingga bisa didapati sebagian pembicaraan menggunakan Bahasa Belanda, dan beberapa Bahasa asing lainnya, tanpa melepas dominasi penggunaan Bahasa Indonesia dan Bahasa Daerah (Jawa).

Film ini cukup memancing nilai nasionalisme yang cukup tinggi mengingat dirilis menjelang peringatan Hari Kemerdekaan Indonesia yang ke-74. Di sinilah Indonesia bisa tersentil bahwa untuk memperingatinya, tak hanya perayaan dan kesenangan yang patut diangkat. Tapi perjuangan bagaimana menjadi tuan rumah di negeri sendiri pada kala itu hingg saat ini. Dimana dalam Film Bumi Manusia, Minke dan Masayarakat Indonesia kala itu mencoba bersuara untuk keadilan.

Pun selain itu, ada sedikit celah yang kurang diangkat dalam film. Salah satunya adalah konflik batin dan pemikiran yang dialami tokoh ketika bersuara mengenai apa yang dipikirkan terhadap kejanggalan yang terjadi. Juga konflik melalui tulisan dan media untuk menyatakan kebenaran.

Melalui Minke, Pramoedya AT berusaha menyuarakan apa yang ada dibenak pemikirannya soal pemberontakan yang seharusnya bisa dilakukan dalam membela kebenaran, terkhusus mungkin ketika sebagian besar tulisannya diproses ketika pemikirannya banyak menggelora selama menjadi tahanan politik.

Secara garis besar, apresiasi terhadap karya film Indonesia ini bisa menjadi inspirasi untuk karya lainnya yang menyirati banyak pesan moral, sejarah, budaya, dan nasionalis bangsa Indonesia. Yang secara menyenangkan menyelipkan bumbu drama dan hiburan jenaka.

Hidup Karya Indonesia.
Merdeka. 

Resketsa, 16 Agustus 2019

Read more…

Friday, August 16, 2019

Brutal melalui Game


Ilustrasi oleh Dewan, 2018.

Di tahun 2013, Rockstar GTA series telah merilis versi terbaru serial game yang cukup populer. Grand Theft Auto (GTA) sudah dikenal sejak populer di platform Playstation 2. Saat itu GTA Vice city telah menunjukkan kebolehan nya dengan menampilkan grafis visual yang bisa diperankan secara freeplay hanya dengan menggunakan remote stick. 

Sekarang, seiring berkembangnya platform yang semakin canggih, produser gaming semakin mengembangkan grafis dan kebebasan permainan agar bisa lebih mirip dengan keadaan nyata. Tak hanya GTA, muncullah game lain dengan genre action adventure untuk seluruh platform bahkan sampai di Personal Computer dan Online juga.

Hingga, saat ini mudah sekali melakukan kekerasan secara dunia maya saja melalui game. Menembaki lawan lewat Counter strike. Radikalisme secara maya bisa terjadi dari masing-masing platform.

Bagi Adrian yang masih berumur empat belas tahun, permainan itu cukup menariknya. “Aku bisa nabrak orang, ledakin mobil, terus beli makanan, atau naikin helikopter kalau main GTA,” ujar anak yang masih menggunakan seragam putih merah itu.

Tindakan brutal diakuinya telah dikenal sejak dia memainkan game bertajuk aksi atau perang. Tak salah ketika dia pernah bercerita soal temannya yang pernah mencoba menendangnya dengan gaya atlit game Smackdown.

“Game itu tergantung cara penggunaannya. Jangan anti-game, jangan juga buta pro-game. Tidak semua game memiliki karakteristik yang cocok untuk dimainkan oleh anak semua umur,” tutur Anies Baswedan, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, seperti dikutip dari Liputan6.com, Kamis (28/4/2016).

Target umur memang sudah tertera di setiap game, sebenarnya tak sembarang gamer yang bisa menikmati game tertentu terkhusus yang mengandung kekerasan dan pornografi ini. Semua kategori umur telah diatur dalam Entertainment Software Rating Board (ESRB). Tindakan radikal dan brutal setidaknya dapat disaring melalui kategori umur tersebut sehingga dunia maya tak menuntut generasi penerus bangsa untuk bertindak sesuai permainannya.

Read more…

Thursday, August 15, 2019

Kisah si Gamelan Bali di Luar Negeri

Sumber Gambar: idntimes.com

Judul Film : Bali: Beats of Paradise
Sutradara : Livi Zheng
Penulis : Ken Zheng
Pemain : Nyoman Wenten, Nanik Wenten,
 Robert Lemelson, Norman Hollyn, Don
Hall, Umar Hadi, Balawan , Judith Hill
Genre : Dokumenter
Tanggal Rilis : 16 November 2018
Negara produksi : Amerika Serikat

Sinopsis:
Bali: Beats of Paradise merupakan film dokumenter musik yang menceritakan kisah di balik layar pembuatan sebuah music video. Uniknya, lagu berjudul Queen of the Hill yang dinyanyikan oleh seorang penyanyi asal Amerika Serikat bernama Judith Hill ini dikolaborasikan dengan tabuhan gamelan Bali. Selain itu, cuplikan diiringi tarian asal Bali serta diisi oleh petikan gitar oleh musisi asal Bali, I Wayan Balawan. Tidak hanya menceritakan mengenai kisah pembuatan musik video, film ini juga mengangkat kisah sosok orang hebat yang telah berjasa dalam keberhasilan kolaborasi antara musik modern dan tradisional dalam video musik tersebut.

Ia juga orang yang telah memperkenalkan gamelan Bali ke berbagai penjuru Amerika Serikat. Tidak sendirian, Bapak Nyoman Wenten ditemani oleh istri tercinta yang juga merupakan seorang penari asal Bali. Dikisahkan bahwa sepasang suami-istri ini sudah berhasil membawa kebudayaan Bali hingga ke mancanegara, bahkan berhasil memainkan gamelan di depan tokoh besar seperti Mao Zedong dan Kim Il
Sung.

Film ini juga menceritakan tentang awal perjalanan Nyoman Wenten jatuh cinta pada sebuah seni, perjalanan hidup. Hingga akhirnya, Ia dan istri memutuskan untuk membawa
kebudayaan ini ke mancanegara dan menjadi dosen Gamelan dan dosen tari di berbagai universitas di Amerika Serikat.

Review:
Inspirasi kisah film ini diakui oleh Livi Zheng sang sutradara, lahir dari kegelisahan pribadinya, dimana sebenarnya gamelan sudah dipakai di berbagai film besar, salah satunya Avatar dan Star Trek. Namun, orangorang banyak yang tidak tahu apa itu gamelan. Berawal dari keprihatinan tersebut, maka timbulah keinginan untuk membawa nama gamelan agar lebih dikenal, salah satu caranya
melalui film ini.

Tema film dokumenter ini memang terbilang unik, karena menggabungkan dua hal aliran yang bertolak belakang yakni tradisional dan modern. Namun, disamping hanya sebuah film,
juga dihasilkan karya lain yaitu sebuah video musik hasil perpaduan dua hal
tersebut.

Bagi siapapun yang menonton film ini juga dapat merasakan bahwa sepanjang film terdapat nuansa
kebudayaan Bali yang kental, dimulai dari audio hingga visual, walau tidak semua bagian mengambil latar di Bali.

Film ini juga menceritakan inspirasi mendalam, mengenai orang-orang
hebat yang selalu berjuang agar kebudayaan tradisional Indonesia tetap hidup dan mampu memberi sentilan pada setiap orang yang sudah mulai melupakan kebudayaan tradisional. Bahkan, orang luar negeri lebih tertarik dan ingin berusaha memadukannya dengan musik
modern.

Namun dibalik segi konsep cerita yang sudah sangat baik, disayangkan bahwa puncak dari film ini, yaitu video musik yang diangkat, gamelan bali yang menjadi bintang utama dalam film cenderung kurang menghiasi perpaduan suaranya. Sehingga, jika musik didengarkan tanpa visual, pendengar kurang bisa merasakan atmosfer gamelan yang diangkat. Secara keseluruhan, film ini menjadi
inspirasi bagi karya anak bangsa.

Sebuah tontonan wajib masyarakat Indonesia, terutama yang berada diluar negeri, untuk mengingatkan bahwa dimanapun berada, tidak pernah ada alasan untuk tidak meneruskan dan
menjaga kebudayaan yang tersimpan di Indonesia.

Elke Devinna, Jurusan Jurnalistik,
Communication University of China,
Beijing

*Tulisan ini pernah diterbitkan di Tabloid Yinnihao, Edisi 3, Vol. 1, Perhimpunan Pelajar Indonesia Tiongkok.

Read more…

Wednesday, July 24, 2019

Because Im Also a Human




“A heart, something that is unpredictable, something that we call as abstract feelings, something that is in a human being.”

A human that tried the best to give the smile to the world. Something that people call as domino effects, positive vibes, and even positive influences. It always depends on our heart. Trying to say that I am okay, and you are also okay. A smile with optimistic believe that you can give good impacts to the world, and so will you.

It looks easy to sometimes give people motivations and spirit. But, humans are still humans. Did you realize that one day, a smile can also fade out. Not in front of people, but from the smile itself. It is easy to always keep the smile for the people. But yeah it’s hard to keep the smile for ourselves.

The change to what happen to a different phase of life gives you a new memory. While, sometimes it feels like a blink on an eye. The memories becomes just stories. While humans are wandering of what will happen in the future. I also miss the past, the memories inside of it, especially the smile of the people inside of it.

The hardest part is to leave the people in the memories, but yeah as they said, life must go on right. It is very weird yet annoying, that our smile fades because of this. Becoming the person that we don’t use to be. Missing people inside the story.

Time flies, sometimes you need to forget yourself, and let the others replace what it should be. Remember, the blessings to keep back the smiles. Remember that the blessing are bigger than the problem. That is what this human should remember.

Realize, that the world weren’t all about materials, but the other values that may pop out with unexpected humans and feelings around it. Yes, still to notice, that because I’m still a human, and maybe in some points I might lose the smiles from this and I hope to bring it back again. 

Not perfect, cannot always be positive, not that easy to be what we want to be. Because, I’m also a human.


But still for that smile, to highlight it all, to make you realize

"that your blessings are bigger than your problem."

Read more…

Saturday, April 06, 2019

Mengenal Bangunan Kuno di Museum Pusat Ibukota

Beijing Museum Interior

Luasnya dataran Tiongkok tak pernah terlepas dari ciri khas bangunan tradisional pada setiap wilayahnya. Ciri khas oriental dengan atap dan sambungan yang begitu menumpuk menjadikan Negeri Tiongkok memiliki ciri khasnya sendiri dalam memberikan tampak bangunanya.

Untuk melihat dan mengenal arsitektur Tiongkok secara secara keseluruhan, wisatawan bisa melakukanya dalam waktu kurang dari sehari. Tak perlu berkeliling Tiongkok, tapi cukup mendatangi Beijing Ancient Architecture Museum ini. Maka keseluruhan sejarah bangunan tradisional dapat dipelajari dan disimak. Secara keseluruhan, museum ini akan menampilkan banyak prototype bangunan tradsional Tiongkok dari zaman ke zaman dan berbagai daerah.

Semua bangunan secara keseluruhan memang didominasi pada zaman dinasti Qing dan Ming. Namun, pernanan dinasti lain seperti Song, dan Tang juga ikut memberikan pengaruh.  Pada dasarnya, melalui museum ini dapat diketahui bahwa bangunan tradisional di Tiongkok bermula menggunakan tanah liat dan kayu, namun selanjutnya di dominasi oleh kayu. Dominasi kayu disini akan mudah menimbulkan kerusakan bangunan baik pelapukan, jamur, dll. Menurut keterangan di museum, para pengrajin mengakali nya dengan mengecat dan memberikan sentuhan seni pada setiap lapisan bangunan. Itulah mengapa bangunan kayu mereka sangat berwarna, dan sebagian besar di dominasi oleh warna merah, biru, dan kuning.

Menjelajahi tiap ruang lebih dalam, maka pengunjung akan menemukan Dougong, sebuah rahasia unik dibalik kuatnya bangunan tradisional Tiongkok. Ialah sebuah sambungan disetiap sisinya. Dougong menjadi unik untuk menjadi komponen dan ciri khas utama bangunan tradisional yang mampu meredam beban gempa dan angin.

Lebih khususnya lagi, perihal bangunan tradisional Beijing adalah yang paling banyak  ditampilkan dalam ruang pameran dan eksebisi disini. Bahkan, menuju pelataran  museum tengah, pengunjung akan menemukan peta relief horizontal kota Beijing dengan skala cukup besar memenuhi seperempat ruangan pameran.

Delapan hal Pedoman 

Kemegahan dari bangunan tradisional di tiongkok dapat ditelisik disini melalui pameran beberapa perkakas dan metode yang dipakai pada peradaban Tiongkok. Delapan poin pekerjaan yang diandalkan mereka yaitu melalui tile work (pekerjaan pengubinan), earth work (pekerjaan lahan), stone works (pekerjaan batu), carpentery work (perkayuan), drawing work (menggambar), oil painting work (pengecatan), scaffolding work (pembentukan rangkaian), dan paperhanging work (pekerjaan kertas gantung). Semua proses ini di tampilkan dalam setiap ruang ekspedisi yang membuat pengunjung semakin mengerti esensi  arsitektur Tiongkok pada masanya.

Tak heran karena kesukaan masyarakat pada angka delapan yang menunjukkan angka kesinambungan, Selain daripada delapan pekerjaan luar biasa, di museum ini juga dapat diketahui bahwa terdapat delapan skala ukur yang dijadikan orang-orang tiongkok untuk membangun bangunan tradisional. Delapan skala itu memaparkan dari penggunaan untuk bangunan tradisional skala kecil hingga yang memiliki skala besar. Biasanya dalam satuan mereka untuk delapan skala tersebut disebut dengan Cai atau 才。

Ada keunikan lainnya dari angka delapan yang masyarakat senangi. Hanya dengan modal tiket 8 yuan atau setara dengan kurang lebih 16 ribu Rupiah, para pengunjung bisa menjelajah ruang dan waktu perkembangan Bangunan tradisional di Tiongkok. Keunikannya, memang karena banyak angka delapan sebagai angka yang dianggap sebagai angka beruntung sehingga  dijadikan ukuran.

Bagaimana cara bisa kesini? Letaknya cukup berseberangan dengan Temple of Heaven yang bisa dijangkau melalui stasiun subway Tiantandongmen di line 5. Jadi akses untuk ke lokasi terbilang cukup mudah. Tak salah untuk dicoba, terutama para penggembar arsitektur dan kebudayaan negeri tirai bambu ini.




Penulis: Annisa Dewanti Putri, @a_dewanti_p

***Pernah dimuat dalam Detik Travel  https://travel.detik.com/dtravelers_stories/u-4029591/mengitip-bangunan-kuno-di-museum-arsitektur-beijing Detik

Read more…

GUBEI: PERJALANAN SOMPLAK WATER TOWN

Somplak TED di Gubei

TED. Entah singkatan itu muncul kapan, mungkin saat kita pertama kali benar-benar menghabiskan dan bertemu untuk suatu tujuan organisasi di kala itu. Organisasi yang menjadikan kita bertiga sering jumpa dan tatap muka karena acara dan agenda. Awalnya niatnya begitu, tidak lama, semua keformalan itu berubah menjadi keseruan yang berujung kegilaan dan kesomplakan belaka. Tiffany, Elke, dan Dewan, itulah TED yang kumaksud. Kesengajaan atau ketidaksengajaan yang terjadi hingga akhirnya, kita anggap TED itu ada karena memang adanya.

Sebelum mengalir lebih jauh ke cerita, biar kujelaskan sedikit siapa tokoh utamanya. Berdasarkan urutan TED, ada T untuk Tiffany, bagiku adalah kawan yang kukenal pertama kali karena berhasil menyelundupkanku untuk kegiatan nomaden ku ke kampus-kampus setiap weekend di kala itu. Nyatanya, perlahan aku tahu bahwa sobatku yang satu ini adalah Pemimpin Majalah Cabe Rawit, aktivis di berbagai organisasi yang memendam banyak bakat seni dan musik terpendam. Itu yang terlihat di sampul, nyatanya Tiffany atau yang lebih kupanggil sebagai Cabe adalah sobat yang penyayang dan sangat sensitif melebihi permen kapas.

Tokoh utama berikutnya untuk E adalah Elke Devinna, seorang soban (sobat dewan) yang biasa ku panggil dengan sebutan Elpiji karena Profile Picturenya juga adalah seorang Boss di berbagai organisasi dan kegiatan. Namun, jika aku menyelami dirinya lebih dalam, ia lebih special dari yang kita pikirkan terutama cara pandang dan ceritanya, layaknya fantasi, bakat dalam jiwa, raga dan pikirannya sangat dalam. Kedua Somplak ini memang sangat mengisi hari-hariku meskipun kita tidak selalu sama zona dan waktunya. 

Diiringi tokoh berikutnya D, dewan, ya inilah aku. Mungkin menurut mereka aku aneh, tapi kadang bodoh tapi katanya pintar, tapi tetap ceroboh, dan sepertinya paling enak jika dijadikan samsag, kena tabok, atau kena marah. Namun seperti biasa, aku ga pernah anggap samsag mereka itu menyakitkan karena menurutku sangat menyenangkan dan kadang tamparan mereka adalah tamparan kasih sayang, lalu ditabok beneran. Haha. 

Mari Kita Berangkat
Oke, sekarang kita masuk saja ke ceritanya. Perjalanan TED ke Gubei Water Town atau 古北口 yang terletak di daerah Minyu, Tiongkok. Konon ini adalah kota air artifisial untuk mewakili Ini nyata, jadi mungkin akan lebih deskriptif dan naratif dibandingkan hal teknikal yang aku paparkan layaknya sebuah travel writer. Nampaknya ini akan lebih ke warna yang kualami. Jadi pagi itu 8.30 CST, seharusnya kami bisa sampai di Donzhimenwai untuk naik bis khusu bertuliskan kearah Gubei, dan turun di stasiun akhir Ticket bisa menuju lokasi adalah 48 Yuan.

Elke saat itu sudah sampai duluan, lalu disusul aku dan Tiffany. Pukul 09.00 pun halte sudah ramai. Namun, kami cukup menunggu sekitar setengah jam untuk berdesak-desakan dan berhasil secara arogan masuk ke armada yang menuju sana. Berhubung saat itu sedang Qingmingjie, mungkin inilah alasan jalanan begitu macat dan ramia. Ditambah di kilometer sekian ada kecelakaan sehingga kami tiba lebih lama pukul 13.30 CST. Selama perjalanan akupun lebih banyak terlelap, efek dari kelelahanku di kampus pada hari-hari sebelumnya. 

kebodohan bersama tiket

Setibanya, kami cukup mengikuti jalan indoor kedalam hingga perlu memindai QR Code di electronic ticket yang sudah dibeli oleh Elke  untuk tur. Untuk informasi, ticketnya bisa dibeli online agar tidak perlu mengantri manual. Saat itu ticket yang kami beli adalah 170 Yuan, dimana 140 untuk masuk kota Gubei nya dan 40 yuan untuk Greatwall Simatai. Air begitu hijau dialiri sungai yang begitu dirawat. Lagi-lagi mungkin karena liburan Qingming maka agak sedikit ramai.

Sesampainya kami memasuki beberapa toko unik di dalam kota itu. Juga melihat banyak display makanan dan figura di jalan. Setelah sedikit menjepret berbagai lokasi yang sedikit menyentil, kami memutuskan untuk makan di kursi seberang sungai. Tempat cukup drama karena harus sambil mendengar orang-orang teriak untuk melihat air mancur memancar. Maka makan disitu ibarat sambil menonton pertunjukan. Meskipun sebenarnya kami yang lebih banyak dilihat orang-orang karena jarang-jarang ada orang piknik seperti kami. Kala itu, kami memutuskan untuk membawa makanan sendiri guna penghematan belaka. 

Elke memasakkan kami bakwan dan jamur yang mengingatkan kembali ke masakan tanah air. Tiffany membawakan desert yang aku lupa namanya apa, hanya enak sekali, rupa seperti kue cokelat dicampur biscuit dan sedikit keju. Aku membawa Pisang dan blueberry, kesukaan Elke dan Tiffany dan nasi kuning yang tidak terasa seperti nasi kuning namun waranya saja yang kuning. Pada akhirnya karena mereka kekenyangan, aku lah sang penghabis semua makanan yang membuatkau sedikit bodoh dan ngefly karena terlampau kenyang. Kalau boleh dibilang makanan mereka enak sekali, sampai sekarangpun masih teringat rasa itu. Sungguh masterchef keduanya itu.

Kekuatan Piknik TED

Seusai makan, kami memutuskan untuk pergi berkeliling lagi karena memang komplek gubei ini begitu luas untuk dijejahi. Maka karena sudah sore, kami putuskan langsun ke Simatai Greatwall sebagai bagian dari Komplek Gubei. Karena, Elke dan Tiffany memutuskan untuk ke Toilet yang ramai, sambil menunggu aku memutuskan untuk livesketching di salah satu sisi kota Gubei. 

Setelah usai, kami menuju pintu untuk menaiki greatwall simatai, namun ternyata baru dibuka kembali untuk malam pada pulu 17.30 CST. Dan karena mengantri saat itu kami memutuskan untuk berkeliling ke tempat lain dahulu sambil memotret dan ke WC lagi. Entah mengapa kami sangat menyukai WC disini berbeda dari WC umum diluar sana yang begitu menyakitkan. Disini begitu asri, indah dan nyaman.
kebodohan sambil menunggu

Sekembalinya kami ke pintu masuk simatai greatwall, kami tetap harus mengantri hingga obrolan demi obrolan kami lewati hingga kami berhasil masuk ke dalam dan ternyata. Simatai Gretwall nyatanya hanya bisa dinaiki dengan Cable Car pada malam hari. Elke terkejud karena ternyata tiketnya hanya untuk masuk. Maka dengan kelihaian berbahasanya dia berhasil menjelaskan ke petugas dan kembali mendapatkan tiket seharga 160 yuan untuk cable car pulang-pergi.

Sesampai di Cable Car, nyatanya kedua sobatku ini takut dengan ketinggian dan ingin rasanya meledek tapi aku tak kuasa hingga mereka hanya saling genggam menggenggam. Lagi-lagi aku terpukau dengan bagusnya pemandangan mengambil sedikit gambar sementara mereka ketakutan semacam sedang dilanda ujian nasional haha. Adik kecil disebelah kami pun ikut menonton drama ketakutan ini. Tapi tetaplah ketika ada kamera mereka pandai sekali menyembunyikan wajah ketakutannya menjadi wajah sok ceria.

Kebodohan Cable Car
Sesampainya diatas, kami perlu mendaki sedikit dua kilometer untuk mencapai deretan Greatwallnya dan mendapat pemandangan keseluruhan Kota Gubei secara nyata dengan lampu-lampu nya yang indah dikala malam. Kami sebentar duduk menikmati pemandangan diatas seraya terbawa fantasi negeri langit diatas kerajaan kota bintang dan lampu.

Kemudian kembali dengan rute yang sama dan menaiki kereta kabel kembali dengan drama-drama ketakutan yang ada namun sekarang lebih mendingan karena mungkin Elke dan Tiffany sudah berhasil menaklukkan ketakutannya sendiri. Maka melalui rute yang berbeda pun kami memutuskan untuk kembali pulang karena khawatir tertinggal bis terkahir. 
   
Niatnya Pulang, Berujung bermalam 

Mengintip momen foto Tiffany, beberapa mengomentari keanehan topi nelayan kami yang sama dipakai namun beda warna. Lalu ada sebuah komentar dari kawan kami “Jika kesana menginap saja karena malam sangat bagus di Gubeikou.” Baik kami tidak ada rencana bermalam disini karena memang bisa melampaui budget kami. Tapi, dibalik ketabulan dan kesantaian itu aku sedikit berfirasat bahwa kami tidak akan keburu bisa pulang hanya aku pikir banyak cara lain.

Mengapa? Hal dadakan seperti ini memang tidak baik namun seringkali kualami dan aku selalu percaya bahwa pada dasarnya selalu ada cara dalam kondisi apapun. Mungkin pikiran ini muncul memang karena aku begitu menikmati tempat ini ditambah saat itu bersama para Somplak TEDku yang mana sangat jarang aku menghabiskan waktu non formal bersama mereka. Seringkali karena perihal akademis dan organisasi. Bagiku momen ini sangat berharga kunikmati bersama mereka apapun yang terjadi sesomplak apapun itu.

Maka… Benar adanya kami kehabisan kendaraan, Elke bertanya banyak orang bahwa semua bisa dan kendaraan untuk kembali sudah habis dan kami tidak bisa kembali. Bukan tidak bisa, namun mungkin banyak cara. Muncullah berbagai ide. Mungkin bisa kusebutkan satu-satu kemungkinan yang bisa ada dan pertimbangan yang bisa dilakukan jika ada yang mengalami keadaan sama seperti kami.

Pertama, ada banyak tawaran taksi gelap untuk menuju lokasi kembali. Saat itu tawarannya adalah 500 Yuan. Tapi perlu dipertimbangakn, ini bisa jadi biaya lebih karena seringkali ketika sampai mereka baru mencharge hal lain selain itu. Taruhlah dari bandara saja, banyak yang bisa kena tertipu sampai 400, bayangkan jika dari luar kota. Baik, kami singkirkan bagian ini.

Kedua, ada suatu cara yaitu mencari penginapan, namun ini mahal jika di dalam komplek, kami sudah cek di media online. Cara menginap kedua adalah ternyata bisa menumpang dengan warga lokal antara 100-150 yuan per orang. Maka kami singkirkan lagi pilihan ini karena kurang lebih akan sama saja jika kami bertiga tidak beda dengan kembali dengan taksi gelap.

Ketiga, ada acara lain yang sedikit nekat yaitu kami mendapat ide untuk mungkin menumpang dengan salah satu travel atau keluarga yang hendak kembali ke Beijing, namun ini sangat jarang karena kita bisa jadi harus melakukan pendeketan lebih dan lebih hati-hati.

Berikutnya, ada terbelisat ide bodoh nan cemerlang dari Elke untuk menumpang tidur di salah satu bis yang mungkin menginap. Namun, kami saat itu tidak menemukan yang benar-benar akan menginap. Tapi hal ini mungkin dilakukan.

Baiklah, ada terbelisat cara lain yaitu biasanya bisa kami lakukan untuk menghabiskan waktu di salah satu tempat makan yang 24 jam, aku yakin tempat ini ada karena adalah lokasi turis dan syukurnya kami menemukannya di dekat pintu keluar. Maka ini adalah ide terbodoh dan sedikit  out of the box kami untuk menumpang makan dan menghabiskan bermalam disini hingga pagi dan kami kembali.

Bungkus. Kami melakukannya , ada sebuah tempat makan sebelah hotel yang kami akhirnya masuki untuk memesan makan malam. Dan sekitar pukul 00.00 makanan kami seharga 124 Yuan itu habis dan kami pakai sisa waktu kami untuk mengobrol menghabiskan waktu hingga terkadang sang pelayan disana mungkin Nampak bingung kami tdiak pulang-pulang. Hingga akhirnya mungkin mereka mengerti bahwa kami disana karena kebodohan kami tidak bisa pulang.

Berakhirlah aku banyak mendapat cerita dan seraya didongengi oleh hal yang berbeda dari kedua sobat ku ini Elke dan Tiffany. Hingga akhirnya aku mendapat mereka menggambar di lembaran lembaran yang biasa kupakai untuk sketsa.

Lagi-lagi aku tenggalam dalam kisah dan goresan mereka hingga pada akhirnya mereka ngantuk dan 
tertidur diatas bangku restoran dan meja. Sampai malam dingin, namun mungkin secara fantasi kami merasa hangat oleh kebersamaan kami. Hingga pada paginya kami bangun karena menggigil. Aku juga seperti sedikit mengigau karena krisis tidur. Inilah yang menyebabkan muka sangat seperti bantal.

Keesokan paginya, di restoran 24 jam kesayangan kami yang ada Wc kesayangan kami juga, kami memutuskan untuk sarapan karena menurut kami cukup enak dan mewah. Maka, untuk sebuah buffet makan pagi kami menghabiskan 48 yuan per orang. Namun, itu sudah sangat kenyang sampai sampai aku melihat Tiffany bolak balik ke Wc dan menambah lagi. Pun Elke memberikan ku oplosan susu kedelai dicampur the creamer dan kawan-kawannya dan ternyata enak.

Baiklah, bagiku segalanya menjadi enak. Meski kadang ada sumbu pendek diantara perjalanan ketabulan ini yang seharusnya bisa lebih teratur kalau kami antisipasi untuk menginap. Tapi, taka pa tanpa cerita ini semuanya tak akan berwarna seperti ini. Dan disini kami melewati dari seru hingga sakit pinggang dan menggigil hialng secara bersamaan sepulangnya dari Gubei. Aku berharap cerita ini akan menjadi momen dalam album kenangan kita sebagai SOMPLAK TED. Wo zhende ai nimen lah..

Kebodohan lagi..



Penampakan Gubei Water Town Jika Bosan melihat penampakan kami.






Read more…

Monday, January 07, 2019

2018: Bulan-bulan Penuh seribu Pelangi Bagian 2

Kenapa penuh seribu pelangi? Karena aku mengenal banyak warna baru di tahun ini.

Karena di tahun ini aku begitu banyak bertemu orang baru yang tak hanya aku temui tapi rasanya aku mengenali mereka lebih dalam. Tentunya bertemu dan berkenalan adalah hal yang sangat berbeda jauh. Bertemu bisa saja terjadi di keramaian tempat tanpa mungkin mengenalinya, Namun, makna mengenal disini bagiku adalah bisa mengetahui juga kisah dan cerita dari diri yang kutemui itu. Dari mulai haru, senang, sampai sedih kurasakan karena seorang yang kuanggap seperti keluarga sendiripun harus berpulang di kota Beijing. Dan semua naik turun ini ini banyak kurasakan di tahun 2018 ini.

Juli-Agustus: Kembali Lagi Lembaran Baru
Saat itu aku mendapat mandat juga untuk menyelesaikan sebuah ilustrasi untuk buku. Meskipun bidang keilmuan ku bukan di bidang seni, tapi karena hobi ini menjadikanku untuk bisa menjadi illustrator dalam buku ini. Pada bulan ini juga aku menyaksikan banyak momen bahagian kelulusan teman-temanku di Beijing. Bersama Cece dan Bang Afif kami juga sempat kabur sejenak ke kota Tianjin untuk hunting foto. Yang menyenangkan adalah bahwa kami bisa saling memoto.
Kepulangan ke Indonesia juga memberikan cerita tersendiri. Di bulan itu, aku pulang namun seperti hanya sekilas karena kepulanganku lebih sering dihabiskan di luar karena berbagi kegiatan yang ada. Alhasil, mama sempat mengeluh dan menjadikanku harus bertekad untuk pulang juga pada liburan berikutnya.

Berkelana Jeprat jepret bareng afif dan cece, Tianjin

PPIT Edu Expo. Aku terlibat untuk membantu dalam Edu Expo Jakarta, Bandung, dan Bogor. Sambil mewakili studi tiongkok juga, aku mencoba sedikit membantu teman-teman merealisasikan acara yang bertujuan baik ini.  Ada tiga penamaan berbeda dari tiga tim kotaku ini, Tim Bandung lautan api, FF6 Bogor (Fast Furious, Karena kita sempat ngebut2an pas komvoy bawa mobil, jangan ditiru ya), dan tim kokasnya Jakarta (Karena kokas di Jakarta). Disini aku bertemu banyak teman-teman tim yang asiknya diancungi jempol. Kita bisa inisiasi acara dalam waktu yang sangat mepet, memang lelah dan capek sekali menjelang hari H. Tapi ketika bisa berbagi bersama teman-teman rasanya sudah bahagia sekali.

CIDY 2018. Conference of Indonesia Diaspora Youth 2018, mewakili undangan untuk teman-teman PPI Dunia, aku ikut kecebur di dalamnya juga. Tentunya seminar dan workshop kala itu sangat bermanfaat dan semakin ngebuka mata soal Diaspora di dunia. Ini juga hari pertama aku ketemu langsung sama Mbak Ita (Shinta Amalina) ku selama ini kami hanya kerja jarak jauh dan somplak-somplakan jarak jauh. Tapi si pemegang rekor Muri itu di hari itu sudah berasa akrab banget rasanya, baru ketemu aku udah diunyel-unyel dan aku dicubitin,  dan enak banget aku ngecengin dia juga tentang rekor MURInya sebagai perempuan termuda S3.

Ekspedisi Cilincing. Program live-in yang dilaksanakan oleh Departemen Sosialnya PPIT ini sungguh menyenangkan karena disini kita ditantang buat lagi-lagi keluar dari zona nyaman dan terjun ke masyarakat. Unik karena lagi-lagi disini aku bertemu dengan teman-teman baru yang punya warna dan ceritanya sendiri. Hingga kusadari bahwa semua manusia di Bumi ini unik dan special. Sama seperti keluarga kecil yang menjadi tempat tinggalku saat itu. Banyak cerita masyarakat yang membuatku tenggelam juga di dalam kisahnya. Lagi-lagi membuatku untuk lebih bersyukur dan bangga bisa berkenalan dengan teman-teman yang mau terlibat di program ini.

September-Oktober: Yang Tak Disangka
Bulan ini setiba di Beijing akupun tak tahu kenapa begitu sakitnya hati menyesuaikan lagi harus keluar dari zona nyaman setelah kembali dari tanah air. Dimana tahun peneilitian bagiku adalah tahun yang cukup serius karena dibebani dengan tanggung jawab untuk terus menghasilkan progress yang secara keilmuan harus benar. Rangkaian rutinitasku pun dari pagi hingga malam pada hari biasa adalah kembali bereksperimen atau ke laboratorium.

Pun terkadang bersama rekan Urban Sketcher Beijing aku masih suka melepas penat dengan ikut sketchwalking dan pameran bareng. Namun, terhitung di semeseter ini kegiatan livesketching ku sedikit berkurang intensitasny disbanding semester sebelumnya.

Banyak berita tak disangka yang menjadikan aku, elke, Tiffany, dan beberapa teman-teman PPIT Pusat yang harus tiba-tiba terjun untuk mengurus Rapat Kerja Tengah Tahun (RKTT) di Beijing. Beruntungnya, disini Elke bisa sangat diandalakan dan enak diajak kerjasama. Tak lupa juga teman-teman Permit kepengurusan baru juga sangat enak untuk digandeng. Menjadikan pekerjaan ini lelah namun menyenangkan untuk dijalani.

Selain itu aku ditawarkan untuk bisa masuk dalam tim Indonesia Diaspora Connect oleh Foundernya Bang Arief, awalnya aku keberatan karena terlampau banyak amanah yang aku lewati. Namun, setelah aku mempertimbangkan bahwa misi dan visi IDC ini sangat baik untuk jangka panjang. Jadilah aku sepakat untuk bergabung.

November-Desember: Semua Tentang Penelitian
Di bulan ini aku berhasil menggandeng Kak Made (Pegiat dan mahasiswa S3 Porto University) dan Kak Riri (Traveler dan aktivis Lingkungan) untuk jadi bagian dari roda Greentastik_id ke depannya. Lalu, di bulan ini aku bagaikan tertampar oleh banyak pengingat soal penelitianku di bagian kedua ini yang cukup mengurus mental karena sulitnya bidang penelitian yang menharuskan ku belajar lintas jurusan. Pun tantangannya disini bukanlah seperti di Indonesia yang bisa dengan bebas berdiskusi dan belajar bersama. Konsep disini lebih ‘Self Study’ dan mandiri juga diperkuat dengan tekad kerja keras.

Photo Competitin mewakili Indonesia

Berita terbaik adalah setelah aku mengikuti seleksi kontes fotografi yang cukup ketat dan dinilai langsung oleh ahli fotografer. Karena kompetisi ini tak hanya mencakup pemuda dan pelajar, tapi juga seluruh masyarakat umum maupun professional. Alhamdulillah dari total seribu lebih karya yang masuk, foto ku masuk ke dalam Top 50 Best Shot. Disini ada kategori lain untuk Online Vote dimana butuh like dari akun lain di Wechat. Usahaku hanya rajin membagikan di grup dan berharap di bagikan kembali oleh teman-teman dan Alhamdulillah tidak sedikit dari mereka membantuku menyebarkan link voting ini.

Pada akhirnya Alhamdulillah di acara puncak penyerahan penghargaan, fotoku “Beijing Art Never Dies” mendapatkan juara III untuk kategori Expert Views (Penilaian juri professional) dan juara I untuk Online Voting. Di hari bahagia ini, ada kejadian mengesalkan dimana aku tersangkut di dalam yurongfu karena reseleting macet dan menyebabkan aku harus merusak paksa jaketku itu. Lalu Plakat penghargaan ku yang setelah di foto gelinding di tangga lantai dua hingga pecah atasnya. Namun, semua itu tetap kusyukuri karena proses dibalik gambar ini yang kunikmati.

Mendekati akhir tahun, tepatnya 27 Desember, ada kejadian yang berikutnya membuatku sedih namun jadi membuatkau semakin bersyukur. Salah satu lab teman seangkatanku di Beijing Jiaotong University kebakaran dan memakan tiga korban mahasiswa meninggal. Aku dan pihak kampus turut bersedih dan dampak ini membuat semua lab eksperimen kami dan kampus lain jadi semakin ketat. Namun, aku jadi semakin bersyukur bahwa dulu aku nyaris menjadi bagian dari lab Teknik Lingkungan itu, namun Professor struktur lebih memilihku berada di Lab Gujian. Entah Wallahualam apa yang terjadi jika aku tetap bersikekeh di lab teknik lingkungan tempat kejadian itu.

29 Desember, Fun For Fun ke greatwall. Bareng Departemen PPI Tiongkok dan Penulis novel Candi Brahu Pak Yos. Kita ditantang untuk lari 2 Km di Tembok Raksasa. Cukup menarik, dengan dalih mendapatkan medali aku mencoba ambil tantangan itu lalu sambil menyelam minum air juga sempat menuliskan dan mendokumentasikan perjalanan teman-teman disini.

Pada 30 Desember, tanggal yang sempat ku tak hiraukan karena itu hari lahirku dahulu kala yang mana setiap detik mengingatkan ku akan segala kesalahan yang kulakukan. Namun, aku juga senang karena doa-doa, hadiah-hadiah, dan motivasi dari keluarga, sahabat, teman-teman dan saudara. Di hari itu, aku kebanjiran beberapa peritilan hadiah, buku, bahkan ucapan baik dari kawan Indonesian ku maupun kawan internasional ku di jurusan dan dorm dan itu cukup membuatku senyum. Dan yang terpenting di siang hari sambil makan siang, mendapat banyak wejangan dan bekal super dari kakak-kakaku di Beijing yang sudah seperti kakak sendiri, sebutlah Mba Aang, ci Okky, dan Mbak tika. Di malam hari pun, tak kalah spesial oleh TED ku, Elke si Elpiji dan Tiffany si Cabe memberikan surprise yang bukan kejutan. Mereka pun menghabiskan tanggal 30 ku ini sambil rapat PUSMEDKOM PPIT sampai keesokan harinya. Benar-benar 2018 ini aku banyak bertemu orang-orang yang sudah aku anggap seperti keluarga sendiri. Aku sayang mereka semua, semua adalah pelangi bagiku.

Terakhir, di hari terakhir 2018 pun, aku dihadapakan oleh Deadline akhir tahun terkhusus untuk labku tercinta. Alhasil aku menghabiskan banyak waktu di lab dan dorm untuk membantu menyelesaikan laporan dan presentasi yang nantinya akan disampaikan pada pemerintah Shaanxi di awal tahun.

Teruntuk Mama, Papa, Keluarga, SLK, LKM UNJ, Event Hunter Indonesia (EHI), UNJkita.com, Lingkar Pengajian Beijing (LPB), PPI Dunia, PPI Tiongkok, Greentastik Indonesia, Urban Sketcher Beijing, Pustaka Kaji, Indonesian Diaspora Connect, Studi Tiongkok, CAYC 2018, ISCES 2018, Tim Gujian, semua sahabatku dan teman-teman yang terlibat dalam tahun 2018 ini. Terimakasih tidaklah cukup, tapi aku bersyukur karena semua bisa jadi pelangiku disini.

Beijing, Desember 2018. Saat aku menyadari dan bersyukur bahwa yang kualami adalah pelangi darimu Ya Rabb.

Read more…